Oleh: Rudolfus P. Mba Nggala
(Praktisi Hukum dan Pegiat Media Sosial)
Maumere, NTT, 9 Agustus 2025 -Perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia sejatinya adalah momen yang dinanti seluruh lapisan masyarakat. Karnaval, lomba rakyat, hingga panggung hiburan menjadi wujud sukacita kolektif, dirayakan tanpa sekat dan tanpa memandang latar belakang sosial-ekonomi. Semangatnya adalah kebersamaan, gotong-royong, dan rasa memiliki terhadap kemerdekaan.
Namun, di Kabupaten Sikka, perayaan karnaval tahun ini diwarnai polemik. Panitia menetapkan biaya pendaftaran Rp5.000 per orang. Keputusan ini menuai penolakan dari sejumlah sekolah dan warga. Kritik muncul karena karnaval dipandang sebagai pesta rakyat, sehingga membebani peserta dengan pungutan wajib dinilai mencederai esensinya. Hingga kini, belum ada penjelasan resmi mengenai tujuan penggunaan dana yang terkumpul dan mekanisme pertanggungjawabannya. Pernyataan Kepala Dinas Kominfo yang menyebutnya sebagai “pendaftaran untuk tujuan edukasi dan seleksi” belum meredakan keresahan publik.
Dalam perspektif teori kebijakan publik, kebijakan yang baik harus memenuhi unsur legitimasi, transparansi, efektivitas, keadilan, dan responsivitas.
Pertama, legitimasi. Apakah pungutan ini memiliki dasar hukum yang sah, seperti Peraturan Bupati atau keputusan resmi panitia yang dapat dipertanggungjawabkan? Tanpa itu, kebijakan rentan dianggap tidak sah.
Kedua, transparansi. Publik berhak tahu berapa dana yang terkumpul, untuk apa digunakan, dan bagaimana laporannya.
Ketiga, efektivitas. Jika tujuan karnaval adalah membangun partisipasi, pungutan justru berpotensi menghambat keterlibatan kelompok masyarakat dengan daya beli rendah.
Keempat, keadilan. Prinsip equity menuntut agar kebijakan tidak menciptakan hambatan ekonomi bagi warga untuk ikut serta.
Kelima, responsivitas. Jika gelombang penolakan telah muncul, panitia atau pemerintah daerah seharusnya segera mengevaluasi kebijakan, bahkan membatalkannya jika memang menimbulkan resistensi luas.
Pernyataan bahwa ini bukan pungutan melainkan pendaftaran adalah strategi framing kebijakan. Namun, framing tanpa perbaikan substansi hanya akan memperburuk persepsi publik. Esensi karnaval sebagai perayaan kemerdekaan akan tergerus jika partisipasi rakyat bergantung pada kemampuan membayar.
Idealnya, pembiayaan acara semacam ini berasal dari APBD, sponsor, atau sumbangan sukarela, sehingga rakyat dapat benar-benar merasakan karnaval sebagai pesta mereka. Kemerdekaan yang diperingati setiap 17 Agustus adalah milik bersama. Jangan sampai momen ini berubah menjadi pesta berbayar yang hanya dinikmati oleh mereka yang mampu.