Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

Mantan Kepala Desa Dibayar Rp300 Ribu dan Tiga Botol Bir untuk Tandatangani Pelepasan Tanah

Minggu, 23 Februari 2025 | Februari 23, 2025 WIB Last Updated 2025-02-23T14:11:20Z
Nuria Haji Musa 


Sumba Barat Daya,NTT-23 Februari 2025 – Dugaan praktik mafia tanah semakin terang di Kecamatan Kodi Utara, Kabupaten Sumba Barat Daya. Tanah seluas 7,5 hektare milik Nuria Haji Musa yang dibeli dari Petrus Pati Kambeka sejak 2006 secara resmi, kini justru diklaim oleh mantan anggota DPRD Provinsi, Pak Hugo.


Lebih mengejutkan, mantan Kepala Desa Ate Dalo, Nikolaus Dawa, mengaku menerima tiga botol bir dan uang Rp300 ribu dari Pak Hugo untuk menandatangani dokumen pelepasan tanah tersebut.


"Saya dikasih minum duluan, bir tiga botol, uang Rp300 ribu, maka saya langsung sudah. Saya tidak pikir lagi, saya terima uang Rp300 ribu," ungkap Nuria.


Sementara itu, 12 orang yang terlibat dalam pengukuran ulang tanah juga mengaku menerima uang masing-masing Rp1 juta, namun mereka membantah menerima total Rp15 juta seperti yang beredar di masyarakat.


"Kami tidak terima Rp15 juta. Kami hanya dapat Rp1 juta per orang. Pak Hugo bilang tanah ini untuk sekolah dan rumah sakit, makanya kami percaya. Ternyata sertifikatnya atas nama dia sendiri," ungkap salah satu petugas.


Kasus ini bermula pada 2006 ketika Nuria Haji Musa membeli tanah dari Petrus Pati Kambeka dengan pembayaran bertahap hingga lunas pada 2012. Setelah pembayaran selesai, Nuria bersama pemilik tanah mendaftarkan pelepasan hak di desa dan kecamatan, serta melakukan pengukuran resmi melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN).


"Sebelum pelunasan, kami sudah ke kantor pertanahan, tapi mereka bilang harus ada pemiliknya. Setelah saya lunasi, barulah kami bisa daftar ke BPN. Mereka bilang tiga hari baru turun ukur, jadi saya beli delapan pilar untuk patok tanah," jelas Nuria.


Setelah tiga hari pengukuran berjalan lancar, BPN meminta waktu tiga bulan untuk memproses sertifikat. Namun, setelah satu tahun berlalu, sertifikat tidak kunjung keluar, justru tanah tersebut tiba-tiba diukur ulang oleh orang lain.


"Kami dengar ada orang lain yang ukur lagi tanah itu. Setelah kami telusuri, ternyata yang ukur itu Pak Hugo, yang saat itu masih anggota DPRD Provinsi," ujar Nuria.


Petugas BPN: "Kami Dipanggil Jam 5 Sore untuk Ukur Tanah Secara Diam-diam"


Merasa ada yang tidak beres, Nuria dan keluarga pemilik tanah mendatangi kantor pertanahan untuk menanyakan status sertifikat mereka. Jawaban yang diberikan sangat mengganjal. Kepala kantor pertanahan saat itu, Pak Aziz, dengan enteng berkata, "Ini bukan Alkitab yang bisa dirubah-rubah. Ibu tenang saja."


Namun, saat ditelusuri lebih dalam, terungkap bahwa pengukuran ulang dilakukan secara ilegal atas perintah Pak Hugo, bahkan dilakukan di luar jam kerja.


"Kami dipanggil jam 5 sore oleh Pak Hugo untuk mengukur tanah," kata salah satu petugas BPN, Edu.


Edu dan rekannya, Asis, mengakui bahwa mereka melakukan pengukuran tanpa prosedur yang sah, tanpa izin dari desa dan kecamatan, serta tanpa kehadiran pemilik tanah yang sah.


"Kami hanya menjalankan perintah. Pak Hugo bilang tanah ini untuk sekolah dan rumah sakit, makanya kami tidak curiga," tambah Edu.


Namun, ternyata sertifikat tanah yang diukur itu justru atas nama Pak Hugo sendiri, bukan untuk kepentingan umum.


"Kami merasa tertipu. Kami pikir tanah ini untuk fasilitas umum, makanya kami mau ukur. Ternyata sertifikatnya pribadi," ungkap salah satu petugas yang ikut dalam pengukuran.


Merasa haknya dirampas, Nuria Haji Musa dan pemilik tanah melaporkan kasus ini ke Polres Sumba Barat Daya. Namun, laporan mereka ditolak dengan alasan kasus ini merupakan perdata, bukan pidana.


"Kami menangis di Polres. Seharusnya hukum melindungi rakyat kecil, tapi justru mereka membela yang punya uang dan kekuasaan," kata Nuria.


Kasus ini menambah daftar panjang mafia tanah yang memanfaatkan celah hukum dan melibatkan pejabat daerah. Masyarakat kini berharap agar pemerintah pusat, khususnya Presiden Prabowo Subianto dan Menteri ATR/BPN, turun tangan untuk membongkar jaringan mafia tanah ini.


Dengan hanya Rp300 ribu dan tiga botol bir, kepala desa bisa menandatangani pelepasan tanah secara ilegal. Dengan hanya Rp1 juta per orang, 12 petugas rela melakukan pengukuran tanpa prosedur yang sah. Jika hukum tidak segera bertindak, siapa yang bisa menjamin kasus serupa tidak akan terjadi lagi? (kl).