Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

Janji Adalah Utang – Saat Rakyat Sikka Menagih Komitmen yang Terlupakan

Sabtu, 21 Juni 2025 | Juni 21, 2025 WIB Last Updated 2025-06-20T23:50:05Z


Oleh: Wenseslaus Wege, S.Fil.


Di tengah derasnya narasi pembangunan dan pencitraan yang nyaring dari para penguasa lokal, rakyat di Nian Tana Sikka justru kerap dibenturkan pada kenyataan pahit: janji-janji yang diucapkan dengan lantang, tapi dilupakan dengan cepat. Bukan karena lupa, tapi karena memang tidak pernah ada niat untuk menepatinya.


Kita hidup di tengah masyarakat yang sejak dulu memahami bahwa janji adalah utang. Sebuah pepatah sederhana, namun mengandung kedalaman moral dan etika. Dalam hubungan sosial, janji bukan sekadar ucapan manis, tetapi kontrak moral yang menjadi dasar lahirnya kepercayaan. Begitu janji dilanggar, hancurlah kepercayaan itu — dan runtuh pula kehormatan si pemberi janji.


Janji Bukan Basa-Basi


Ada lima prinsip dasar yang menopang nilai sebuah janji:


1. Kejujuran, yakni berkata sesuai fakta, bukan ilusi.


2. Konsistensi, antara ucapan dan tindakan.


3. Komitmen waktu, datang dan bertindak tepat seperti yang dijanjikan.


4. Tanggung jawab, ketika gagal menepati, berani mengakui dan memperbaiki. 


5. Kehati-hatian dalam berjanji, tidak asal “iya” untuk menyenangkan pendengar.


Sayangnya, lima prinsip ini sering kali diabaikan oleh para pemegang jabatan publik di Kabupaten Sikka. Janji-janji politik menjadi alat menenangkan rakyat ketika butuh suara, lalu ditinggalkan saat kekuasaan sudah digenggam. Ini bukan hanya soal etika politik, tapi pengkhianatan terhadap amanah rakyat.


Suara Para Pemikir Tentang Janji


Filsuf etika Jerman Immanuel Kant menyebut bahwa menepati janji adalah kewajiban moral universal. Bila janji dilanggar, tatanan kepercayaan sosial ikut runtuh.


Filsuf politik Inggris John Locke menegaskan bahwa janji adalah kontrak sosial yang mengikat. Ia merupakan dasar dari masyarakat yang beradab dan tertib.


Di tanah air, Prof. Dr. Miriam Budiardjo menyebutkan bahwa janji dalam politik adalah utang moral pemimpin kepada rakyat. Pelayanan publik dan kebijakan harus mencerminkan janji-janji itu — bukan sekadar slogan kosong.


Secara psikologis, Sigmund Freud mengingatkan bahwa janji yang dilanggar terus-menerus dapat merusak relasi emosional dan kesehatan mental, baik bagi pelaku maupun korban dari janji kosong tersebut.


Dan KH. Mustofa Bisri, budayawan dan ulama Nusantara, mengingatkan dengan bijak:

"Orang yang mengingkari janji adalah orang yang mengkhianati dirinya sendiri."


Sikka dan Janji yang Ditinggalkan

Kini, rakyat Sikka menagih. Mereka tidak butuh banyak janji baru, cukup bukti dari janji lama yang tak pernah ditepati. Di mana air bersih yang dijanjikan? Di mana akses kesehatan yang manusiawi? Di mana transparansi anggaran dan partisipasi rakyat yang dulu dielu-elukan?


Jangan sampai para pemimpin daerah tenggelam oleh narasi dan retorikanya sendiri. Sebab rakyat bisa lupa, tapi rasa kecewa tak pernah benar-benar hilang. Dan kekecewaan rakyat adalah utang yang tak bisa dibayar dengan basa-basi baru.


Jangan Main-Main dengan Janji

Wahai para pemangku kuasa di kolong langit Sikka, ingatlah:

Janji yang tidak ditepati akan menjadi bara yang membakar wibawa Anda sendiri.


Bukan rakyat yang menjatuhkan Anda —

Tapi lidah Anda sendiri, yang menipu dan akhirnya memalukan.


Salam waras.