![]() |
Oleh: Eddy Kurniawan Mantan Sekretaris GP Ansor Sikka |
Belakangan ini, kita kembali dihadapkan pada perdebatan klasik: siapa yang dianggap layak bersuara di ruang publik Kabupaten Sikka? Polemik ini mencuat setelah sejumlah pelaku usaha kecil—yang oleh sebagian orang dilabeli sebagai "pendatang"—melakukan aksi damai memprotes kebijakan retribusi daerah yang dianggap memberatkan.
Sebagai warga yang menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial dan keterbukaan, saya merasa perlu menegaskan: jangan pernah mempersempit hak bersuara hanya untuk mereka yang lahir atau ber-KTP Sikka. Faktanya, banyak pelaku UMKM yang disebut "pendatang" itu telah puluhan tahun hidup dan bekerja di sini. Mereka adalah bagian dari denyut nadi ekonomi lokal.
Warung-warung mereka hadir di setiap sudut kota. Tangan mereka yang menggoreng, menakar, melayani. Mereka menyewa ruko, membayar listrik, membayar pajak, bahkan menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah kita. Mereka bukan hanya pelengkap wajah kota—mereka adalah bagian dari jantung ekonominya.
Lebih dari itu, keberadaan warung-warung kecil ini ikut menghidupkan denyut pasar tradisional. Mama-mama kita yang berjualan di pasar—pedagang sayur, rempah, ikan, dan bahan pokok lainnya—banyak yang menjadi langganan tetap para pemilik warung. Ketika warung-warung ramai pembeli, dagangan di pasar pun ikut bergerak. Uang berputar, dari pembeli ke warung, dari warung ke pasar, dari pasar ke petani dan nelayan. Itulah wajah ekonomi kerakyatan yang tumbuh secara organik dan lestari.
Belum lagi kita bicara tentang para pekerja lokal yang dipekerjakan di warung-warung itu. Banyak anak muda dan kepala keluarga dari Sikka yang bekerja sebagai karyawan di warung atau toko milik mereka. Ada juga nelayan-nelayan lokal kita yang menjual hasil tangkapan ikan mereka secara rutin ke warung makan atau depot nasi milik para pendatang. Ada rantai ekonomi yang saling menguatkan, saling bergantung, dan secara tidak langsung menumbuhkan geliat ekonomi masyarakat kita sendiri.
Maka ketika mereka bersuara, itu adalah hak demokratis yang dijamin konstitusi. Tidak adil jika kritik mereka dipatahkan dengan stigma “bukan orang sini”. Yang mereka suarakan bukanlah provokasi politik, melainkan realita hidup yang mereka alami setiap hari.
Kita justru patut menghargai cara mereka menyampaikan pendapat secara tertib dan damai, dalam forum resmi. Di tengah situasi sosial yang mudah memanas, aksi semacam ini adalah contoh berdemokrasi yang dewasa dan patut diapresiasi.
Namun tentu saja, kritik juga menuntut kedewasaan. Kita yang menuntut keadilan dari pemerintah juga harus jujur bertanya: sudahkah kita sendiri taat pajak? Jangan sampai yang paling lantang di pengeras suara, justru lalai membayar pajak kendaraan atau izin usaha.
Pembenahan harus dua arah. Pemerintah mesti lebih terbuka dan komunikatif dalam menyampaikan dasar setiap kebijakan—termasuk soal retribusi 10% itu. Sementara masyarakat harus diberi ruang dialog yang sehat, bukan malah dipisah-pisahkan dalam dikotomi “pendatang” dan “asli”.
Karena sejatinya, demokrasi tidak dibangun di atas tembok identitas, melainkan di atas jembatan solidaritas. Kabupaten Sikka akan maju jika semua warganya—siapa pun mereka—merasa dilibatkan dan dihargai.
Pendatang atau bukan, selama mereka ikut membangun dan merasakan dampak dari kebijakan, maka suara mereka sah untuk didengar.