Oleh: Meridian Dewanta, SH
(Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia Wilayah NTT / TPDI-NTT / Advokat PERADI / Kuasa Hukum Keluarga dr. Abraham Taufiq)
Kematian seorang dokter muda, dr. Abraham Taufiq, dalam kecelakaan lalu lintas di Jalan Timor Raya Km 58, Desa Ekateta, Fatuleu, pada 16 Juni 2025, bukan sekadar peristiwa tragis. Ia adalah potret nyata tentang bagaimana seorang pejabat publik dapat kehilangan kepekaan sosial pada saat paling dibutuhkan: ketika nyawa melayang, keluarga berduka, dan publik menuntut keadilan.
Adalah Obed Naitboho, Anggota DPRD NTT sekaligus mantan Wakil Bupati TTS, yang terseret dalam pusaran kasus ini. Mobil Mitsubishi Pajero Sport dengan nomor polisi DH 1371 CD yang ia tumpangi bersama isteri dan sopirnya, melaju kencang dari arah Soe menuju Kupang. Di tikungan tajam, kendali hilang, dan tabrakan pun tak terhindarkan dengan mobil Suzuki Katana yang dikendarai dr. Abraham Taufiq bersama rekannya, Modesta Uak.
Hasilnya tragis: dr. Abraham berpulang setelah sempat dirawat di RSUD Naibonat. Modesta selamat meski mengalami luka ringan. Namun yang lebih memilukan, sopir Pajero Sport itu justru kabur dari lokasi kejadian. Bukan sikap seorang warga taat hukum, apalagi bila mengingat sang pemilik mobil adalah seorang legislator yang paham betul arti pertanggungjawaban.
Polres Kupang akhirnya menetapkan Isak Palai Peni sebagai tersangka dengan jeratan Pasal 310 ayat (2) dan (4) UU LLAJ. Tetapi publik menaruh curiga. Kesaksian warga menyebut bahwa yang melarikan diri pascakecelakaan adalah seorang pemuda berbaju merah, bukan pria paruh baya bernama Isak Palai Peni. Pertanyaan pun menggantung: benarkah aparat telah mengusut dengan jernih, atau ada kepentingan lain yang bermain di balik layar?
Namun sesungguhnya, yang paling mengiris hati bukan hanya soal teknis penyelidikan, melainkan sikap dingin Obed Naitboho setelah peristiwa tersebut. Hingga hari ini, tidak ada ucapan belasungkawa, tidak ada kunjungan empati, bahkan tidak ada sekadar sepatah kata maaf dari dirinya kepada keluarga korban. Sementara keluarga besar dr. Abraham masih bergulat dengan duka mendalam, sang politisi justru memilih bungkam.
Padahal kita semua tahu, Surya Paloh berulang kali menekankan bahwa kader Partai NasDem harus berpolitik dengan hati. Empati dan kepekaan sosial adalah prinsip yang diulang-ulang oleh Ketua Umum partai ini di berbagai kesempatan. Tetapi di NTT, justru ada kader yang terang-terangan menyepelekan perintah tersebut. Jika empati saja gagal ditunjukkan, bagaimana mungkin publik percaya pada idealisme perubahan yang selalu didengungkan Partai NasDem?
Sebagai kuasa hukum keluarga korban, saya berpendapat: diamnya Obed Naitboho adalah bentuk pelecehan terhadap amanat politik Surya Paloh. Diamnya adalah pengingkaran terhadap nurani kemanusiaan. Diamnya adalah luka tambahan bagi keluarga korban yang sudah kehilangan anak, suami, dan saudara tercinta.
Karena itu, saya mendesak agar DPP Partai NasDem, melalui Korwil Bali–Nusa Tenggara, segera turun tangan. Jangan biarkan kasus ini menjadi noda yang menurunkan wibawa partai. Publik menunggu sikap tegas: apakah partai ini berani menindak kader yang jelas-jelas tak punya kepekaan sosial, atau justru memilih membiarkan rakyat membaca bahwa slogan “politik dengan hati nurani” hanyalah retorika kosong.
Sejarah akan mencatat, bukan hanya tentang siapa yang menyebabkan kecelakaan itu, tetapi juga siapa yang abai pada saat rakyat kecil kehilangan nyawa.
Dan hari ini, nama itu adalah: Obed Naitboho.