Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

DLHK NTT Diduga Serobot Lahan Warga Kupang, Legitimasi Perda RTRW 2024 Dipertanyakan

Selasa, 16 September 2025 | September 16, 2025 WIB Last Updated 2025-09-16T15:27:37Z

 

DLHK NTT diduga serobot lahan warga Kupang usai Perda RTRW 2024. Thobias Lay sebut penguasaan lahan sudah lama, Pemkot tak pernah dilibatkan.


Kota Kupang, NTT, 16 September 2025— Dugaan penyerobotan lahan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTT kembali menjadi sorotan publik. Polemik ini mencuat pasca ditetapkannya Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 4 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2024–2043, yang resmi diberlakukan pada 21 Oktober 2024.


Masyarakat Kota Kupang menyatakan keresahan mendalam atas penetapan sepihak titik-titik perluasan kawasan hutan produksi oleh DLHK NTT. Ironisnya, sebagian besar lahan yang diklaim sebagai kawasan hutan telah lama dikuasai dan dimanfaatkan oleh warga secara turun-temurun—sebagai tempat tinggal, lahan pertanian, hingga ruang kehidupan sosial.


Menurut Thobias Lay, usai melakukan koordinasi dengan Kabag Hukum Kota Kupang, konflik ini baru muncul setelah perda diberlakukan. “Faktanya, penguasaan lahan oleh masyarakat terjadi jauh sebelum DLHK melakukan penataan hutan produksi. Sayangnya, penetapan kawasan ini dilakukan tanpa koordinasi dengan Pemerintah Kota Kupang,” tegasnya.


Thobias yang juga bendahara  Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) menilai, langkah DLHK Provinsi NTT bisa berdampak pada keberlangsungan pengembangan kawasan perumahan di Kota Kupang. Menurutnya, pembangunan hunian dan permukiman yang sudah berjalan bertahun-tahun kini terancam ketidakpastian hukum akibat klaim kawasan hutan lindung.


Perda RTRW yang tercatat dalam Lembaran Daerah Provinsi NTT Tahun 2024 Nomor 004; Tambahan Nomor 0132, meski sah secara hukum, dinilai cacat secara sosial. Mekanisme penyusunannya dianggap minim partisipasi publik dan mengabaikan realitas historis masyarakat yang telah lama mengelola lahan tersebut secara sah.


Hal ini juga bertentangan dengan amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mewajibkan sinkronisasi RTRW provinsi dengan kabupaten/kota serta melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan.


Masyarakat tidak bisa serta-merta dianggap melanggar tata ruang hanya karena adanya aturan baru. Ada nilai-nilai lokal, spiritual, dan historis yang melekat pada tanah tersebut. Ketika hukum tidak berpijak pada kenyataan sosial, ia kehilangan rohnya sebagai alat keadilan.


Jika kebijakan ini tetap dipaksakan, dampaknya bisa serius: warga kehilangan lahan pertanian, tempat tinggal, hingga mata pencaharian. Kondisi tersebut dikhawatirkan memperburuk kemiskinan di Kota Kupang, sekaligus memicu konflik horizontal.


Pakar hukum menilai masyarakat memiliki ruang untuk menempuh jalur hukum, mulai dari uji materiil perda di Mahkamah Agung hingga gugatan ke PTUN. Namun, langkah hukum seringkali panjang dan melelahkan, sehingga penyelesaian dialogis menjadi opsi paling bijak.


Kini publik menanti sikap tegas Pemerintah Kota Kupang dalam mengawal hak-hak warga. Diperlukan langkah strategis untuk membuka ruang dialog dengan Pemerintah Provinsi NTT, sekaligus mendorong peninjauan ulang kawasan yang diklaim. Pembangunan berkelanjutan seharusnya tidak mengorbankan masyarakat kecil yang justru menjadi penjaga ruang hidup.


"Tanah ini bukan sekadar lahan. Ia adalah warisan leluhur, tempat kami berdoa, bercocok tanam, dan membesarkan anak-anak kami. Jangan cabut akar kami demi peta yang tak kami pahami." — ungkap seorang warga dari Kelurahan Naioni. 


Perda RTRW yang adil seharusnya melahirkan harmoni, bukan konflik antar-pemerintah dan rakyat.

✒️: kl