Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

Hidup di Tengah Pemukiman, Tapi Tanah Bersertifikat di Kupang Dicap Ilegal

Sabtu, 13 September 2025 | September 13, 2025 WIB Last Updated 2025-09-13T01:24:09Z

 

Ironi di Kupang, tanah bersertifikat BPN di tengah pemukiman justru diklaim hutan lindung. Ancaman ini bisa menimpa siapa saja di Indonesia. (📸: Ilustrasi) 


Oleh: Pemasmur Jalanan


Hidup di tengah pemukiman padat, tetapi tanah bersertifikat di Kota Kupang tiba-tiba dicap ilegal—itulah ironi yang sedang menampar wajah keadilan di negeri ini. Kasus ini menegaskan betapa rapuhnya kepastian hukum pertanahan di Indonesia, karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) sendiri yang mengeluarkan sertifikat, justru kemudian menyatakan tanah tersebut masuk kawasan hutan lindung.


Yang lebih membingungkan, tanah yang disengketakan itu berada tepat di tengah-tengah pemukiman padat. Rumah-rumah di sekelilingnya sudah bersertifikat sah dan tidak dipersoalkan. Namun anehnya, hanya sebidang tanah di tengah itulah yang tiba-tiba “dicap” sebagai kawasan hutan. Pertanyaannya: bagaimana mungkin logika hukum bisa seabsurd ini?


Kasus di Kupang ini bukan sekadar tumpang tindih regulasi. Ia adalah bukti nyata bahwa koordinasi antara kebijakan pertanahan, kehutanan, dan tata ruang masih berjalan di jalur yang berbeda. Padahal sertifikat tanah seharusnya menjadi jaminan kepastian hukum, bukan sumber konflik baru yang justru membuat rakyat semakin bingung dan terpojok.


Bagi masyarakat, ini bukan sekadar persoalan sengketa lahan. Ini menyangkut rasa aman, keadilan, dan martabat. Rakyat yang taat hukum, membayar pajak, dan memegang sertifikat resmi tiba-tiba dianggap melanggar aturan. Lebih parah lagi, ancaman penggusuran, pembatalan hak, bahkan kriminalisasi selalu mengintai mereka.


Trauma sosial pun tak terhindarkan. Anak-anak tumbuh dengan rasa takut ketika melihat orang tuanya diperlakukan seperti pelanggar hukum, hanya karena bertahan di tanah leluhur mereka sendiri. Ketidakpastian hukum ini menimbulkan luka kepercayaan yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar sengketa administratif—ia merusak hubungan rakyat dengan negara.


Kupang hanyalah satu contoh kecil. Jika pemerintah tidak segera menyelesaikan kekacauan regulasi pertanahan dan kehutanan, maka setiap warga di negeri ini bisa bernasib sama: hidup di tengah pemukiman, tapi tanahnya tetap dicap ilegal. Dan saat itu terjadi, yang hilang bukan hanya sertifikat tanah, tetapi juga kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.