![]() |
Kasus jurnalis dipolisikan gara-gara kata "skandal" di Maumere membuka perdebatan soal kebebasan pers dan UU Pers di Indonesia. |
Oleh: Albert Cakramento – Jurnalis News-daring.com
Kasus makanan bergizi (MBG) di SMAK Yohanes 23 Maumere yang sempat heboh di dunia maya menyisakan pelajaran pahit: seorang jurnalis bisa dipolisikan hanya karena satu kata dalam berita. Kata itu adalah “skandal”.
Seorang pemilik dapur, Siska, melaporkan jurnalis EbenIndonesia Paul Yanka ke Polres Sikka pada 25 September 2025, lantaran keberatan dengan penggunaan kata tersebut. Padahal, dalam tradisi jurnalistik, skandal adalah diksi yang sah dan lumrah. Ia dipakai untuk menggambarkan sebuah peristiwa yang janggal, memalukan, atau mengundang tanda tanya besar di mata publik.
Sejarah pers Indonesia bahkan sarat dengan penggunaan kata skandal. Kita mengenal “Skandal Bank Century”, “Skandal Wisma Atlet”, hingga “Skandal e-KTP”. Kata itu tidak serta-merta berarti fitnah, melainkan sebuah pintu masuk bagi masyarakat untuk menyoroti persoalan yang serius. Dalam konteks MBG, apakah wajar jika makanan siswa diduga berulat? Bukankah itu jelas sebuah kejanggalan yang pantas disebut skandal?
Yang lebih berbahaya adalah upaya kriminalisasi pers hanya karena pilihan diksi. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas menjamin kemerdekaan pers:
Pasal 2: Kemerdekaan pers adalah wujud kedaulatan rakyat.
Pasal 4 ayat (1): Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Pasal 8: Wartawan dalam melaksanakan profesinya mendapat perlindungan hukum.
UU Pers juga telah menyediakan mekanisme yang adil jika ada keberatan: Hak Jawab dan Hak Koreksi (Pasal 5 ayat (2) dan (3)). Bukan laporan pidana. Maka langkah melaporkan jurnalis ke polisi justru bertentangan dengan semangat demokrasi dan supremasi hukum.
Memang benar, wartawan juga tunduk pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Mereka wajib akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Namun, harus diingat: memilih kata skandal bukanlah bentuk kebohongan atau penghinaan, melainkan pilihan bahasa jurnalistik yang sahih. KEJ tidak pernah melarang wartawan menggunakan diksi yang kuat, selama faktanya benar dan kepentingan publik dilayani.
Pers bekerja dengan bahasa. Bila setiap kata bisa menyeret wartawan ke meja polisi, maka kebebasan pers akan mati, dan publik kehilangan hak atas informasi. Kasus ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua: jangan sampai ruang publik dikendalikan oleh rasa “tidak nyaman” segelintir orang, sementara kepentingan masyarakat luas terabaikan.
Saya percaya publik cukup cerdas untuk menilai. Persoalan utama bukan pada kata skandal, melainkan pada kualitas program makan bergizi itu sendiri. Jika benar ada dugaan makanan berulat, itu adalah masalah serius. Maka, wartawan yang mengungkapnya justru sedang menjalankan tugas konstitusional: menyuarakan kepentingan rakyat.
Jangan salah alamat. Yang seharusnya dipersoalkan bukanlah jurnalis, melainkan mutu program dan tanggung jawab penyelenggara.