![]() |
| Penutupan Pasar Wuring oleh Bupati Sikka dinilai GMNI sebagai kegagalan tata kelola pasar. Pedagang kecil paling terdampak kebijakan ini. |
Maumere, NTT, 9/12 — Penutupan Pasar Wuring di Kabupaten Sikka yang dilakukan secara tiba-tiba oleh Bupati menuai kritik keras dari . Bagi organisasi mahasiswa ini, kebijakan tersebut bukan sekadar persoalan legalitas pasar, melainkan menyangkut kelangsungan hidup keluarga pedagang kecil sekaligus menjadi ujian serius kualitas kepemimpinan daerah.
Hasil kajian GMNI menegaskan bahwa kebijakan ini lahir dari ketidakmampuan pemerintah memahami kebutuhan rakyat, kegagalan manajemen pasar tradisional, serta keputusan sepihak yang bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Akar Masalah Ada di Pasar Alok
Wakil Ketua Bidang Advokasi GMNI Sikka, Cristian Ocean, menegaskan bahwa akar persoalan sesungguhnya terletak di , yang hingga kini gagal memenuhi standar kenyamanan, keamanan, dan kepastian ruang usaha.
Menurutnya, pedagang bertahan di Pasar Wuring bukan karena ingin melanggar aturan, tetapi karena pasar informal tersebut justru lebih tertib, nyaman, dekat dengan pembeli, serta memberi jaminan tempat usaha.
“Ketika pasar informal lebih dipercaya dibanding pasar resmi, itu adalah indikator kuat kegagalan tata kelola pasar tradisional oleh pemerintah,” tegas Cristian.
Kebijakan Tanpa Dialog Dinilai Langgar Good Governance
Ketua GMNI Sikka, Wilfridus Iko, menyatakan bahwa langkah menutup Pasar Wuring tanpa dialog, tanpa kajian dampak publik, serta tanpa pembenahan Pasar Alok terlebih dahulu merupakan kebijakan tanpa basis data dan melanggar prinsip good governance.
“Kebijakan ini hanya memukul ekonomi masyarakat kecil, kelompok paling rentan, dan sama saja mematikan kehidupan keluarga mereka, bukan menyelesaikan akar masalah,” tegasnya.
Refleksi Socrates: Pemimpin yang Merasa Paling Tahu
GMNI Sikka juga mengutip pandangan filsuf tentang kesalahan terbesar seorang pemimpin, yakni ketidaktahuan yang merasa tahu (ignorance of one’s own ignorance).
Menurut GMNI, keputusan menutup Pasar Wuring justru mencerminkan keangkuhan pengetahuan (arrogance of knowledge)—diambil tanpa pengenalan mendalam terhadap realitas sosial, tanpa dialog, dan tanpa keberanian untuk mendengar suara rakyat.
Solusi GMNI: Benahi Pasar Alok, Pedagang Tetap Beraktivitas
GMNI Sikka mengajukan solusi tegas kepada Bupati:
- Benahi fasilitas, keamanan, dan jaminan penghasilan ekonomi di Pasar Alok.
- Selama pembenahan berlangsung, pedagang Pasar Wuring tetap dibiarkan beraktivitas.
- Setelah Pasar Alok benar-benar layak, barulah relokasi dilakukan dengan jaminan eksistensi pedagang.
- Semua kebijakan wajib menghadirkan win-win solution.
“Kebijakan publik ideal harus memenuhi prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan kejujuran,” tegas Wilfridus Iko.
Dinilai Cacat Secara Hukum Administrasi
Dari sisi hukum, GMNI menilai kebijakan ini juga bermasalah. Penutupan Pasar Wuring dinilai bertentangan dengan tentang Administrasi Pemerintahan, yang mewajibkan pemerintah memenuhi asas kecermatan, keadilan, proporsionalitas, perlindungan HAM, dan keterbukaan.
Selain itu, kebijakan ini juga dinilai melanggar serta bertentangan dengan mandat . Bahkan, keputusan tersebut berpotensi cacat secara hukum administrasi karena penyalahgunaan diskresi.
GMNI: Jangan Paksa Aturan, Perbaiki Sistem
Sekretaris GMNI Sikka, Ignasius Sinung Ama, menegaskan bahwa seorang pemimpin seharusnya membaca kebutuhan rakyat dan memperbaiki sistem yang gagal, bukan sekadar memaksakan aturan tanpa memikirkan dampaknya.
“Penutupan Pasar Wuring tanpa solusi hanya menutupi gejala, bukan mengobati penyakit. Yang menderita tetap rakyat kecil yang hanya ingin mencari nafkah dengan jujur,” tegasnya
Jika pemerintah terus mengabaikan suara pedagang kecil, maka yang hancur bukan hanya pasar, tetapi juga kepercayaan publik terhadap kepemimpinan daerah.
