![]() |
📸: Ilustrasi |
Oleh: Pemazmur Jalanan
Isu pungutan liar di dunia pendidikan bukan barang baru. Namun, ketika kabar ini menyeruak dari Politeknik Negeri Kupang (PNK), publik kembali digiring untuk bertanya: apakah kampus benar-benar tempat menimba ilmu, atau sekadar pasar bebas yang mewajibkan mahasiswa “membeli” fasilitas tambahan?
Fakta terbaru menyebutkan bukan hanya di jurusan Pariwisata, tetapi isu pungutan ini juga dikaitkan dengan jurusan Bisnis. Informasi yang berkembang di luar menyebutkan adanya praktik serupa: mahasiswa diarahkan untuk membayar dengan alasan tertentu, meski nomenklaturnya kerap dihaluskan. Apakah benar dugaan ini? Jika iya, maka masalah PNK bukan lagi kasus “oknum jurusan”, tetapi sudah masuk ke ranah sistemik.
Ketua Jurusan Pariwisata PNK, Feny Susana Eky, ketika dikonfirmasi media vicktorinews.id beberapa waktu lalu, tidak menampik adanya pungutan. Ia hanya berkelit dengan kalimat manis: “Bukan pungli. Kami hanya mengarahkan mahasiswa membeli konsumsi di Dapur Pariwisata sesuai menu pilihan. Nota pembelian diserahkan ke staf administrasi saat mendaftar ujian.”
Pernyataan ini justru memperlihatkan adanya “normalisasi pungutan” di tubuh kampus. Pertanyaannya sederhana: apa urgensinya mahasiswa harus membeli konsumsi di dapur jurusan sebagai syarat ujian? Bukankah tugas jurusan adalah memastikan mutu akademik, bukan memaksa mahasiswa menjadi konsumen “paket dagangan internal”?
Dalam konteks hukum, pungli tidak hanya berbentuk “uang cash masuk kantong pribadi”. Segala bentuk pungutan di luar aturan resmi, apalagi dijadikan syarat administratif, dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang. Maka, penyebutan “bukan pungli” terdengar seperti upaya menutupi praktik yang sebenarnya sudah melanggar etika akademik, bahkan hukum.
Lebih jauh, dugaan serupa di jurusan Bisnis seharusnya segera diklarifikasi oleh pihak terkait. Kampus bukan arena bisnis internal. Jika benar mahasiswa di sana juga “dipaksa” membeli sesuatu dengan dalih tertentu, publik pantas marah. Mahasiswa, yang sudah terbebani biaya kuliah dan kebutuhan hidup, tidak semestinya menjadi sapi perah dari oknum birokrasi kampus.
Pertanyaan penting pun muncul: Apakah Aparat Penegak Hukum (APH) bisa masuk ke ruang ini, agar kebobrokan bisa dibuka di publik? Benar atau tidak isu liar tentang jurusan Bisnis? Klarifikasi terbuka menjadi jalan satu-satunya untuk menghentikan spekulasi yang kian liar.
Kejadian ini seharusnya menjadi momentum evaluasi besar bagi PNK. Transparansi harus diutamakan. Publik menunggu penjelasan resmi, bukan sekadar kalimat “itu bukan pungli” yang justru memperkuat dugaan adanya praktik kotor.
Kampus adalah ruang intelektual, bukan ruang dagang. Jika dibiarkan, maka nilai-nilai pendidikan akan terkikis, dan Politeknik Negeri Kupang hanya akan dikenang sebagai institusi yang gagal menjaga integritas akademik.