![]() |
Masalah sertifikat tanah dan kawasan hutan di Kupang kembali mencuat. Kabag Hukum Setda, Pauto W. Neno, jelaskan akar persoalan dan proses penyelesaiannya. |
Kota Kupang, NTT, 17 September 2025— Masalah sertifikat tanah yang bersinggungan dengan kawasan hutan kembali mencuat di Kota Kupang. Kabag Hukum Setda Kota Kupang, Pauto W. Neno, menjelaskan bahwa persoalan ini kerap menjadi hambatan masyarakat dalam melakukan penjualan maupun balik nama tanah, karena banyak lahan yang teridentifikasi masuk ke dalam kawasan hutan produksi.
“Kalau persoalan sertifikat, itu kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kalau soal kawasan hutan, itu kewenangan Kementerian Kehutanan. Pemerintah Kota hanya berwenang mengatur penataan ruang,” jelas Pauto.
Saat ini, Pemerintah Kota Kupang sedang menyusun Perda Tata Ruang melalui proses review lintas sektor. Pembahasan telah dilakukan dua kali, terakhir pada awal September 2025 di Kementerian ATR/BPN bersama kementerian terkait, termasuk Kehutanan. Namun, Pauto menekankan bahwa keputusan akhir tidak berada di tangan pemerintah daerah, melainkan melalui keputusan menteri berdasarkan hasil rapat teknis lintas kementerian.
“Pemerintah kota hanya bisa mengusulkan kondisi eksisting di lapangan. Tetapi apakah lahan itu bisa dikeluarkan dari kawasan hutan atau tidak, keputusan ada di Kementerian Kehutanan dan ATR/BPN,” tegasnya.
Dalam sesi wawancara, wartawan mempertanyakan soal koordinasi antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota dalam menentukan titik-titik kawasan tata ruang yang sering menimbulkan masalah. Pertanyaan kritis lainnya adalah mengapa rumah-rumah warga yang sudah lama berdiri justru tiba-tiba ditetapkan berada dalam kawasan hutan industri.
Menjawab itu, Pauto menegaskan bahwa masalah ini tidak hanya terjadi di Kupang, tetapi hampir di seluruh Indonesia. Bahkan, DPR RI sudah pernah menyoroti hal ini, karena sering kali program pembangunan pemerintah, termasuk sekolah, jalan, hingga proyek strategis, terhambat akibat status lahan yang masuk kawasan hutan.
Menurutnya, hal ini menimbulkan kesan seolah-olah kawasan hutan “menyerobot” tanah masyarakat tanpa sosialisasi terlebih dahulu. Padahal, hukum seharusnya bersifat dinamis, fleksibel, dan mengikuti perkembangan masyarakat.
Karena itu, Pauto menekankan perlunya duduk bersama antara pemerintah daerah, provinsi, dan kementerian terkait agar aturan tata ruang bisa selaras dengan kondisi nyata di lapangan. Ia menegaskan bahwa Pemerintah Kota Kupang tetap berkomitmen mengakomodir kebutuhan masyarakat, lalu mengusulkannya secara resmi ke kementerian terkait.
“Semoga ke depan ada solusi yang adil dan tepat. Jangan sampai status kawasan hutan justru menjadi penghambat pembangunan dan merugikan masyarakat,” pungkasnya.
✒️: kl