![]() |
Konflik lahan Kupang memanas. Thobias Lay, Bendahara APRESI, tegaskan sertifikat tanah warga lebih sah daripada klaim hutan lindung DLHK NTT. |
Kota Kupang, NTT, 17 September 2025— Konflik antara sertifikat tanah masyarakat dengan klaim kawasan hutan lindung DLHK Provinsi NTT semakin memanas pasca diberlakukannya Perda RTRW Provinsi NTT Nomor 4 Tahun 2024–2043. Aturan yang disahkan pada 21 Oktober 2024 itu kini menjadi sorotan tajam karena dianggap mengabaikan hak warga yang telah lama menguasai lahan secara sah.
Menanggapi pernyataan Kabag Hukum Setda Kota Kupang, Pauto W. Neno, yang menyebut keterbatasan kewenangan Pemkot dalam menyelesaikan konflik sertifikat dan status kawasan hutan, Thobias Lay selaku Bendahara Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APRESI) menilai jawaban itu terlalu defensif.
Menurutnya, justru karena keterbatasan kewenangan, Pemkot Kupang harus berani bertindak sebagai advokat rakyat. “Sertifikat tanah bukan sekadar kertas, tetapi bukti sah hak kepemilikan dan sejarah penguasaan lahan. Jika tiba-tiba lahan itu diklaim sebagai hutan lindung, yang terguncang bukan hanya pembangunan, melainkan juga martabat dan rasa aman masyarakat,” tegas Thobias.
Warga yang telah menempati dan mengelola lahan secara turun-temurun, menurut Thobias, memiliki hak yang diakui oleh negara melalui sertifikat tanah. Karena itu, penetapan kawasan hutan tanpa mempertimbangkan kondisi eksisting sama saja dengan meniadakan sejarah dan hak-hak rakyat.
Ia menekankan bahwa hukum tata ruang semestinya bersifat adaptif. “Jika hukum tidak berpijak pada realitas sosial, ia hanya akan menjadi alat penyerobotan. RTRW tidak boleh disusun di atas pengorbanan rakyat,” ujarnya.
Thobias menambahkan, koordinasi lintas lembaga antara Pemkot, Pemprov, dan kementerian tidak cukup jika hanya administratif. Harus ada keberpihakan jelas terhadap masyarakat. Ia mengingatkan bahwa DPRD maupun DPR RI sebelumnya pernah mendorong penertiban kawasan hutan secara adil dan menyeluruh di Kupang.
Pemkot Kupang Jangan PasifMenurutnya, Pemkot Kupang tidak boleh hanya berhenti pada posisi “mengusulkan kondisi lapangan”, melainkan harus memperjuangkan perubahan status lahan yang sudah dihuni warga agar dikeluarkan dari kawasan hutan. “Ini soal keberanian politik membela rakyat, bukan sekadar prosedur birokrasi,” tegasnya lagi.
"Kami punya sertifikat resmi. Tanah ini tempat kami hidup turun-temurun. Kalau sekarang disebut hutan lindung, lalu bagaimana nasib kami?" ungkap seorang warga dari Kelurahan Naioni.
✒️: kl