Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

Konflik Lahan Naioni: Warga Vs PT Nusa Timor Perkasa, Ombudsman NTT Diminta Turun Tangan

Kamis, 02 Oktober 2025 | Oktober 02, 2025 WIB Last Updated 2025-10-02T12:10:01Z
Konflik lahan Naioni Kupang: Warga vs PT Nusa Timor Perkasa, Ombudsman NTT diminta turun tangan demi kepastian hukum dan hunian layak.


Kota Kupang, NTT, 2 Oktober 2025– Konflik lahan di Kawasan Naioni, Kota Kupang, kembali mencuat setelah warga Perumahan Nusa Persada yang tergabung dalam kelompok masyarakat menuding PT Nusa Timor Perkasa sebagai pihak yang turut memperkeruh status kepemilikan tanah. Warga kini melayangkan pengaduan resmi kepada Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi NTT, meminta lembaga negara ini turun tangan menyelesaikan polemik yang dinilai telah mengancam hak konstitusional mereka atas kepastian hukum dan hunian layak.


Dalam surat pengaduan yang ditandatangani warga, disebutkan bahwa mereka adalah penghuni sah Perumahan Nusa Persada, Kelurahan Naioni, Kota Kupang. Mereka menegaskan, sertifikat tanah yang dimiliki sah diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Kupang, ditambah dokumen Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang dikeluarkan Pemerintah Kota Kupang.


Namun, klaim sepihak datang dari Dinas Kehutanan Provinsi NTT yang menyatakan kawasan Naioni masih termasuk Kawasan Hutan Produktif, serta Dinas PUPR dan Tata Ruang Kota Kupang yang menyebut lokasi masuk dalam Kawasan Agropolitan. Klaim ini menimbulkan kebingungan, sebab bertentangan dengan dokumen legal milik warga.


Tak hanya itu, warga juga menuding PT Nusa Timor Perkasa yang dikomandoi Direktur Thobias Lay turut menjadi pemicu konflik baru. Menurut mereka, keberadaan perusahaan ini memperkuat ketidakpastian hukum karena klaim lahan menambah tekanan terhadap masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang telah membeli tanah/hunian secara sah.


Latar Belakang Sertifikat Tanah


Dalam kronologi yang dipaparkan warga, terdapat tiga sertifikat tanah yang dibeli bersamaan dengan status awal sebagai lahan perkebunan. Status tersebut kemudian ditingkatkan menjadi pekarangan, lalu berubah menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Setelah itu, sertifikat digabung dan dipecah untuk seluruh unit rumah di perumahan. Proses berjalan sesuai prosedur tanpa masalah.


Namun, persoalan muncul ketika warga ingin melakukan balik nama sertifikat. Proses administrasi ditolak dengan alasan adanya klaim tumpang tindih dari instansi kehutanan dan tata ruang, yang berujung pada ketidakpastian hukum.


Dalam laporan resmi ke Ombudsman, warga mengajukan empat tuntutan utama:


1. Investigasi Maladministrasi

Memeriksa prosedur penerbitan dokumen negara (SHAT oleh BPN, PBG oleh Pemkot, dan klaim kawasan hutan/agropolitan oleh Dinas Kehutanan serta PUPR) yang saling bertentangan.


2. Rekomendasi Penyelesaian Adil

Melindungi hak-hak masyarakat sebagai pihak ketiga beritikad baik, sesuai ketentuan hukum (Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997 jo. PP No. 18 Tahun 2021 dan SEMA No. 4 Tahun 2016).


3. Solusi Jangka Pendek

Percepatan revisi RTRW Kota Kupang agar kawasan Naioni, khususnya Perumahan Nusa Persada, ditetapkan sebagai Kawasan Permukiman/Budidaya.Penegasan perlindungan hukum atas sertifikat tanah yang sah diterbitkan BPN.


4. Solusi Jangka Panjang

Pemerintah Provinsi NTT, Pemkot Kupang, dan kementerian terkait diminta menempuh mekanisme Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) sesuai UU No. 11 Tahun 2020 dan PP No. 23 Tahun 2021. Dengan begitu, kawasan Naioni resmi dikeluarkan dari status hutan dan ditetapkan sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), sehingga BPN bisa menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) final bagi masyarakat.


Warga berharap Ombudsman NTT dapat segera memediasi konflik ini. Mereka menegaskan, hak konstitusional warga untuk memperoleh kepastian hukum dan hunian layak harus dijamin.


“Masalah ini bukan hanya soal status tanah, tapi menyangkut keadilan sosial dan masa depan keluarga yang telah membeli rumah dengan sah. Kami berharap Ombudsman hadir sebagai pengawas dan mediator agar ketidakpastian hukum ini segera berakhir,” demikian kutipan dalam surat yang ditandatangani perwakilan warga Naioni.


Konflik lahan Naioni kini menjadi salah satu potret tumpang tindih regulasi antara pemerintah kota, provinsi, dan pihak swasta. Masyarakat menegaskan, mereka bukan hanya memperjuangkan sertifikat tanah, melainkan hak dasar untuk hidup tenang di atas hunian yang sah secara hukum.

✒️: kl