Oleh: Restiana Embong Bulan (Mahasiswa Program Pascasarjana, Prodi PIPS Universitas Nusa Cendana)
Perkembangan zaman tidak dapat dihindari. Arus globalisasi yang sangat deras memaksa manusia untuk beradaptasi. Saat ini kita hidup pada masa ketika batas antara fiksi ilmiah dan kenyataan semakin kabur. Teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang dulu hanya hadir dalam film fiksi ilmiah, kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dari perangkat ponsel hingga ruang-ruang kerja profesional, AI meresap ke segala aspek aktivitas manusia.
Kehadirannya bagaikan gelombang besar yang perlahan namun pasti mengubah lanskap sosial dan ekonomi. Banyak orang mulai bertanya-tanya: apakah profesi mereka sedang menuju ujung masa kejayaan? Apakah robot dan algoritma akan mengambil alih pekerjaan manusia?
Pertanyaan itu tampak mengkhawatirkan, namun sejarah memberi gambaran yang lebih jernih. Pada setiap revolusi teknologi—mesin uap, komputer, internet—selalu ada pekerjaan yang tergeser. Namun dalam waktu yang sama, muncul pula jenis pekerjaan baru yang jauh lebih kreatif, strategis, dan bernilai tinggi.
Kenyataannya, AI tidak hadir untuk menghapus profesi manusia, melainkan mengambil alih tugas-tugas rutin, berulang, dan mekanis. Algoritma memang mampu menulis draf sederhana, mengurutkan data, atau mengolah laporan. Namun pengambilan keputusan, kreativitas, hubungan interpersonal, dan kepekaan moral tetap menjadi wilayah manusia.
Inilah pergeseran yang sering disalahpahami. AI tidak serta-merta menghapus profesi, melainkan mengotomasi bagian tertentu dari pekerjaan manusia. Dalam dunia administrasi misalnya, staf kini tidak perlu menghabiskan waktu untuk menyaring email atau menyusun jadwal, karena sistem berbasis AI dapat mengerjakannya dengan cepat dan akurat. Hal ini membuka ruang bagi manusia untuk fokus pada komunikasi, empati, koordinasi, dan tugas-tugas kolaboratif.
Hal serupa terjadi pada jurnalisme dan penulisan konten. AI memang dapat merangkum berita, tetapi wawancara mendalam, investigasi kritis, dan analisis kontekstual tetap membutuhkan intuisi manusia. Bahkan dalam bidang keuangan, ketika AI mampu memproses jutaan data transaksi, tugas analis manusia justru berkembang menjadi lebih strategis: menafsirkan pola, memberikan nasihat bisnis, dan mempertimbangkan dimensi sosial, budaya, serta etis.
Karena itu, nilai manusia di era AI justru semakin meningkat—khususnya bagi mereka yang mampu memanfaatkan kemampuan yang tidak dimiliki mesin. AI dapat mengolah data, tetapi tidak dapat memahami makna pengalaman manusia. Ia tidak memiliki kesadaran moral, tidak merasakan emosi, tidak memiliki intuisi. Inilah benteng terbesar keunggulan manusia.
Kemampuan berpikir kritis dan penyelesaian masalah kompleks menjadi pembeda utama. AI dapat memprediksi jawaban berdasarkan pola masa lalu, tetapi ketika dihadapkan pada situasi baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, manusia tetap menjadi aktor utama. Ketika perusahaan harus merumuskan strategi menghadapi perubahan iklim, ketidakstabilan sosial, atau ketidakpastian ekonomi global, AI hanya menyediakan data. Keputusan kreatif, inovatif, dan berani tetap bergantung pada manusia.
Selain kemampuan berpikir kritis, kecerdasan emosional menjadi pilar yang tidak tergantikan. Dalam dunia profesional, dinamika emosi manusia tidak dapat dirumuskan hanya dengan algoritma. Memimpin tim dalam masa transisi, menenangkan kecemasan, membangun komunikasi positif, mengelola konflik, serta membina hubungan dengan klien adalah kompetensi manusiawi yang tidak bisa direplikasi mesin.
Bahkan dalam seni dan kreativitas, meskipun AI dapat menghasilkan gambar atau musik, ia tidak mampu menciptakan karya yang tumbuh dari trauma, harapan, pengalaman batin, dan spiritualitas manusia. Kedalaman emosional tidak dapat diprogram.
Namun keterampilan paling penting di era AI bukan hanya berpikir atau berempati, melainkan kemampuan untuk terus belajar. Dunia berubah begitu cepat sehingga pekerjaan hari ini mungkin berubah wajah dalam lima tahun ke depan. Karena itu, fleksibilitas mental menjadi modal utama. Individu dengan growth mindset—yang melihat perubahan sebagai kesempatan untuk tumbuh—akan berada di garis terdepan.
Mempersiapkan masyarakat untuk realitas baru ini tidak cukup hanya dengan pelatihan bagi pekerja dewasa. Fondasi perubahan harus dimulai dari pendidikan dasar. Sekolah tidak lagi dapat menjadi tempat menghafal informasi, tetapi ruang untuk membangun karakter dan keterampilan abad ke-21. Kurikulum Merdeka telah mengarahkan pendidikan pada visi ini melalui asesmen diagnostik dan pembelajaran berdiferensiasi agar setiap siswa tumbuh sesuai ritme dan potensinya.
Pada titik ini, menjadi jelas bahwa AI bukan ancaman bagi eksistensi manusia, melainkan alat yang dapat mengangkat kapasitas manusia ke level lebih tinggi. Masa depan bukanlah kompetisi antara manusia dan mesin, tetapi kolaborasi yang produktif antara keduanya. Mesin mengambil alih beban repetitif, sementara manusia bertugas pada ranah yang membutuhkan kebijaksanaan, etika, kreativitas, dan empati.
Keberhasilan di era AI bukan diukur dari kemampuan kita menghindari teknologi, tetapi sejauh mana kita mengembangkan diri sebagai manusia. Selama kita menumbuhkan kreativitas, etika, empati, dan kemampuan belajar tanpa henti, maka era AI bukanlah ancaman—melainkan panggung ketika manusia justru naik kelas dan menunjukkan kualitas terbaiknya.
