Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

Marak Praktik Prostitusi Di Sikka: Dilema Hukum Dan Desakan Ekonomi

Sabtu, 22 November 2025 | November 22, 2025 WIB Last Updated 2025-11-22T04:57:26Z

 



Oleh: Charlos Sada, SHAdvokat Magang


Prostitusi sering disebut sebagai fenomena sosial tertua di dunia, dan hingga kini keberadaannya tetap menjadi perdebatan moral, sosial, dan hukum. Di Indonesia, termasuk di Kabupaten Sikka, praktik prostitusi merupakan cerminan dari jurang ketidaksetaraan ekonomi serta ketidakpastian regulasi hukum, di mana penindakan kerap hanya menyentuh permukaan tanpa menyentuh akar persoalan.


Maraknya penggerebekan dan penahanan pelaku prostitusi — baik offline maupun online — belakangan ini menjadi perbincangan hangat masyarakat Sikka. Namun sebelum menghakimi para pelaku, penting untuk menelaah apa penyebab utama prostitusi terus tumbuh subur di Sikka?


Berbagai studi menegaskan bahwa faktor ekonomi merupakan alasan dominan perempuan terjun ke dunia prostitusi. Kondisi ini semakin diperparah oleh beberapa situasi berikut:


🔹 Minimnya Lapangan Kerja
Ketersediaan pekerjaan di Kabupaten Sikka sangat terbatas, khususnya bagi masyarakat berpendidikan rendah. Dalam kondisi ini, prostitusi dipandang — meski berisiko — sebagai cara tercepat memperoleh pendapatan yang tinggi.


🔹 Tanggung Jawab Keluarga
Banyak remaja, perempuan dewasa, hingga ibu rumah tangga menjadi PSK untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga seperti makan, biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan harian lainnya. Prostitusi dipilih sebagai strategi bertahan hidup (survival strategy).


🔹 Gaya Hidup Hedon dan Materialisme
Ada pula kelompok PSK yang berasal dari keluarga “mampu” namun terjebak gaya hidup konsumtif. Praktik prostitusi daring (MiChat dan platform lain) menjadi pilihan untuk memenuhi ambisi materi. Dalam konteks ini, prostitusi menjadi bentuk eksploitasi ekonomi dan seksual yang memanfaatkan kerentanan demi keuntungan finansial.


Hingga kini KUHP tidak memidana PSK maupun pelanggan jasa prostitusi.
Ini menimbulkan paradoks dalam penegakan hukum.


Penindakan selama ini hanya fokus pada mucikari, berdasarkan:


  • Pasal 296 KUHP – memudahkan atau menyebabkan perbuatan cabul sebagai pencarian.
  • Pasal 506 KUHP – mengambil keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita.


Sanksinya sering dianggap tidak sebanding dengan besarnya perputaran uang serta dampak sosial prostitusi.


Pada kasus prostitusi online, penjeratan hukum mengacu pada:


  • UU ITE Pasal 27 ayat (1) – penyebaran konten melanggar kesusilaan
  • UU 21/2007 tentang PTPPO – jika ada unsur paksaan, ancaman, atau eksploitasi, termasuk anak


Ketiadaan pasal untuk menjerat pelanggan dan PSK membuat banyak daerah mengandalkan Perda Ketertiban Umum, namun sanksinya hanya berupa denda ringan atau kurungan pendek — tidak menimbulkan efek jera dan tidak seragam di seluruh Indonesia, termasuk Sikka..


Prostitusi tidak dapat dihapus hanya dengan penegakan hukum. Diperlukan langkah komprehensif dan berkelanjutan:


1️⃣ Reformasi Regulasi Hukum

Pembaruan hukum harus menindak pelanggan (demand side) dan memperberat hukuman terhadap mucikari serta jaringan perdagangan orang agar efek jera tercapai.


2️⃣ Penguatan Ekonomi & Kesejahteraan Sosial

Akar persoalan adalah kemiskinan. Upaya harus mencakup:

  • Lapangan kerja inklusif
  • Pendidikan dan pelatihan keterampilan
  • Program pemberdayaan bagi mantan PSK
  • Bantuan modal usaha berbasis kemandirian


3️⃣ Rehabilitasi & Reintegrasi Sosial

PSK harus diperlakukan sebagai korban eksploitasi, bukan objek penghukuman.
Pendampingan psikologis, sosial, dan ekonomi diperlukan agar mereka memiliki harapan dan masa depan baru.


Fenomena penangkapan pelaku prostitusi di Sikka yang viral di berbagai platform hanya menunjukkan ketegangan antara desakan ekonomi dan ketidaksempurnaan sistem hukum. Selama kesenjangan ekonomi tetap lebar, dan hukum masih fokus pada efek (PSK & mucikari) tanpa menyentuh penyebab dan akar (permintaan & kemiskinan), prostitusi akan terus menjadi “pekerjaan rumah” sekaligus “godaan ekonomi” bagi perempuan yang terjepit keadaan.