Oleh: Yohanes Maro Aktivis Mahasiswa Kabupaten Sikka
Di Kabupaten Sikka, pembangunan seharusnya menjadi jantung harapan rakyat—sebuah proses panjang yang menghadirkan rasa aman, kesejahteraan, dan keadilan. Namun, belakangan ini, arah pembangunan daerah tampak bergerak tanpa kompas yang jelas. Banyak kebijakan dan program yang dijalankan pemerintah justru memperlihatkan gejala ketidakpastian, seolah lupa bahwa inti pembangunan adalah pemenuhan hak-hak dasar rakyat.
Kekaburan arah ini tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari ketidaktegasan visi, minimnya transparansi kebijakan, serta renggangnya jembatan antara pemerintah dan masyarakat. Akibatnya, kegelisahan sosial perlahan tumbuh—orang mempertanyakan motif kebijakan, mencurigai proses pembangunan, dan mulai meragukan apakah pemerintah benar-benar berjalan menuju kesejahteraan atau hanya berputar dalam lingkaran kepentingan.
Kondisi ini tentu membahayakan. Ketika kepercayaan publik melemah, ketika rakyat merasa tidak dilibatkan, maka potensi disintegrasi sosial bukan lagi ancaman jauh. Ia bisa muncul kapan saja, dalam berbagai bentuk, dari protes terbuka hingga penolakan diam-diam terhadap kebijakan pemerintah.
Karena itu, berbicara tentang kondusifitas harus dilakukan secara jujur. Kondusifitas bukanlah usaha menutup-nutupi kegagalan pembangunan, bukan pula dalih untuk meredam kritik. Kondusifitas sejati lahir dari rasa aman yang dibangun melalui keadilan. Tanpa keadilan, ketenangan yang tampak hanyalah ketertiban semu.
Sebagai aktivis mahasiswa, saya melihat bahwa menjaga kondusifitas adalah tanggung jawab bersama. Bukan hanya tugas aparat, bukan hanya tugas pemerintah, tetapi komitmen moral seluruh masyarakat Sikka. Namun komitmen ini tidak boleh dijalankan dengan membungkam kritik. Justru sebaliknya—kritik konstruktif adalah syarat utama untuk memperbaiki arah pembangunan.
Pembangunan hanya akan berarti jika didasarkan pada kebutuhan rakyat, bukan pada keinginan segelintir elite. Karena itu, partisipasi publik harus ditingkatkan. Setiap keputusan yang berkaitan dengan anggaran, infrastruktur, dan kebijakan sosial harus dijelaskan secara terbuka kepada masyarakat. Rakyat berhak tahu bagaimana uangnya dikelola dan untuk apa sebuah program dijalankan.
Pemerintah daerah juga harus kembali menegakkan etika pemerintahan: bahwa kekuasaan bukan ruang untuk memperkuat kepentingan pribadi, tetapi amanat untuk melayani. Ketika integritas pemerintah menguat, maka kepercayaan rakyat akan pulih, dan kondusifitas sosial akan mengikuti secara alami.
Bagi mahasiswa, tugas moral kami jelas: menjadi pengingat nurani publik, menjadi penyeimbang dalam dinamika sosial, dan mengawal agar pembangunan tetap berpijak pada kepentingan rakyat kecil. Kami tidak ingin melihat Sikka melangkah tanpa arah, terlebih jika arah itu justru menjauh dari rakyat.
Pada akhirnya, saya mengajak seluruh masyarakat Sikka untuk memperkuat solidaritas sosial, menjaga persatuan, namun tetap kritis terhadap perjalanan pembangunan daerah. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa Sikka tidak hanya tenang, tetapi adil. Tidak hanya tertib, tetapi sejahtera.
Karena arah pembangunan hanya akan jelas jika rakyat sendiri ikut memegang kemudi.
