Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

Resolusi Pulau Kera: IKIF Kupang Desak Negara Hadir di Wilayah yang Lama Diabaikan

Jumat, 23 Mei 2025 | Mei 23, 2025 WIB Last Updated 2025-05-23T01:39:24Z

 

IKIF Kupang gelar dialog publik bertajuk “Resolusi Pulau Kera” untuk soroti ketimpangan sosial dan lingkungan di Pulau Kera serta desak negara hadir berpihak.


Kota Kupang, NTT – Ikatan Kaum Intelektual Fatuleu (IKIF) Kupang kembali menunjukkan kiprah kritisnya dalam merespons isu-isu lokal dengan menyelenggarakan dialog publik bertajuk “Resolusi Pulau Kera” pada Kamis, 22 Mei 2025, bertempat di Aula Pramuka Kupang.


Forum ini diselenggarakan sebagai ruang temu gagasan untuk membedah berbagai dinamika sosial dan lingkungan yang selama ini membayangi kehidupan masyarakat Pulau Kera — sebuah wilayah pesisir yang kerap terpinggirkan dari perhatian arus kebijakan pembangunan baik di tingkat daerah maupun nasional.


Dalam sambutan pembuka, Ketua Umum IKIF Kupang, Asten Bait, menegaskan bahwa peran intelektual tidak hanya terbatas pada ruang akademik, tetapi harus terwujud dalam sikap kritis dan keberpihakan terhadap realitas masyarakat.


 “Dialog ini bukan sekadar forum wacana, tapi ajakan untuk turut serta dalam pencarian solusi atas persoalan-persoalan nyata yang dihadapi masyarakat Pulau Kera. Intelektual harus menjadi bagian dari gerakan perubahan, bukan penonton,” tegas Asten.


Ia menambahkan bahwa Pulau Kera bukan hanya sekadar pulau kecil di tengah laut. Di sana hidup komunitas pesisir dengan identitas dan hak-haknya yang terus terdesak akibat pembangunan yang mengabaikan aspek sosial dan ekologis.


 “Masalah di Pulau Kera menyangkut hak hidup, identitas budaya, serta tantangan lingkungan yang tak bisa diselesaikan dengan pendekatan birokratis semata. Dibutuhkan pemikiran kolaboratif dan keberanian bersikap,” ujarnya.


Dialog publik ini dipandu oleh MC Dian Teuf dan dimoderatori oleh Fathur Dopong, S.Pd. Kegiatan menghadirkan dua narasumber utama, yakni Yefta Sabaat, S.Ip., M.Ip., akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana (FISIP Undana), serta Fadly Anetong, S.Sos., Pimpinan AGRA-NTT (Aliansi Gerakan Reforma Agraria Nusa Tenggara Timur). Keduanya menyampaikan pandangan kritis mengenai kebijakan negara, pengelolaan sumber daya alam, serta isu keberpihakan terhadap masyarakat adat dan komunitas pesisir.


Dalam paparannya, Yefta Sabaat menekankan pentingnya keberpihakan negara terhadap komunitas yang hidup di kawasan marginal. Ia mengkritik pendekatan pembangunan yang tidak kontekstual dan sering kali justru memperparah ketimpangan.


Sementara itu, Fadly Anetong menyoroti lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat adat pesisir serta kecenderungan eksploitasi sumber daya alam tanpa partisipasi aktif warga yang terdampak langsung.


Forum berlangsung dinamis dengan sesi tanya jawab dan diskusi terbuka. Para peserta yang terdiri dari mahasiswa, aktivis, tokoh masyarakat, dan akademisi terlihat antusias memberikan masukan dan pendapat. Mereka menyuarakan perlunya dokumen rekomendasi kebijakan yang lahir dari forum ini untuk disampaikan kepada pemerintah daerah maupun pusat.


Menutup acara, Asten Bait kembali mengingatkan bahwa resolusi Pulau Kera bukan hanya tuntutan lokal, melainkan cerminan dari krisis keadilan sosial dan lingkungan yang lebih luas.


 “Mari hadir sebagai bagian dari solusi. Persoalan Pulau Kera adalah tanggung jawab kolektif kita sebagai anak bangsa,” pungkasnya.

(kl)