![]() |
Peredaran rokok ilegal di Kabupaten Sikka kian masif. GMNI desak pembentukan task force usut pelanggaran cukai dan tindak pidana terorganisasi. |
Maumere, NTT- Peredaran rokok ilegal di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, kini memasuki fase yang mengkhawatirkan. Rokok tanpa pita cukai atau dengan pita cukai palsu (aspal: asli tapi palsu) tak hanya dijual di pasar tradisional, tapi juga marak di kios, toko modern, bahkan dipasarkan secara mobile menggunakan kendaraan roda dua.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan serius: di mana pengawasan aparat penegak hukum dan otoritas terkait?
Komisariat Sosial-Hukum GMNI Cabang Sikka mengungkap temuan ini setelah memantau peredaran rokok ilegal sejak 2024. Berdasarkan dokumentasi lapangan, merek-merek seperti King Bako, Sniper Seven, Arrow, Thanos Bold, dan Rastel diduga kuat tidak memenuhi ketentuan cukai.
Michelson Mo’a Popi, Sekretaris Komisariat Sosial-Hukum GMNI Sikka, dalam konferensi pers Senin, 7 Mei 2025, menegaskan bahwa lemahnya pengawasan dan minimnya tindakan hukum berpotensi membuka ruang bagi pembiaran sistemik.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini kejahatan terorganisasi yang merugikan negara dan melemahkan kepercayaan publik,” tegasnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, semua barang kena cukai wajib dilekati pita cukai atau tanda pelunasan lainnya (Pasal 29). Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan pidana penjara 1–5 tahun serta denda hingga 10 kali nilai cukai.
Lebih jauh lagi, UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mengkategorikan pelanggaran cukai sebagai tindak pidana asal yang berpotensi menjadi objek pencucian uang. Artinya, peredaran rokok ilegal bukan perkara sepele, tapi bisa dikategorikan sebagai organized crime.
GMNI mendesak tindakan konkret:
- Pemerintah daerah harus intensifkan operasi pasar gabungan.
- Libatkan Satpol PP, Bea Cukai, Polisi, dan Pemerintah Desa.
- Bentuk satuan tugas (task force) khusus pemberantasan rokok ilegal.
Rokok ilegal tidak hanya menggerus pendapatan negara, tetapi juga menghancurkan iklim usaha yang adil bagi pelaku industri yang taat hukum.
“Jika hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas, maka kita sedang menanam bom waktu ketidakadilan,” pungkas Michelson.
(AC)