Oleh: Wenceslaus Wege, S.Fil.
Dalam negara hukum yang demokratis, wewenang bukanlah alat kekuasaan, melainkan amanah. Setiap mandat jabatan publik disematkan dengan syarat mutlak: dijalankan sesuai aturan perundang-undangan, bukan berdasarkan selera dan kepentingan pribadi atau kelompok. Namun, dalam praktik, amanah ini kerap dikerdilkan menjadi instrumen kuasa semata.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara telah menjabarkan dengan terang bahwa pembinaan terhadap ASN harus dijauhkan dari kepentingan golongan. Pasal 98 ayat (1) menyatakan secara eksplisit:
"Pejabat dilarang menyalahgunakan wewenang dalam pembinaan ASN untuk kepentingan pribadi atau golongan."
Namun, pertanyaannya: siapa yang masih membaca pasal-pasal ini dengan hati yang jujur?
Belakangan, muncul fenomena absurd di beberapa daerah—CPNS, PPPK, guru, bidan, bahkan perawat diturunkan ke lapangan untuk menagih pajak. Sebuah praktik yang patut dipertanyakan, bukan hanya dari sisi legalitas, tetapi juga etika birokrasi. Bukankah ASN direkrut untuk menjalankan fungsi spesifik dalam tupoksi masing-masing? Lantas, ketika mereka digunakan sebagai “alat lapangan” untuk urusan yang tak sesuai mandat, ini pembinaan atau penyimpangan?
Jika ini disebut sebagai tugas negara, mengapa tidak cukup mengerahkan petugas yang berkompeten di bidang perpajakan? Jika ini hanya bentuk loyalitas terhadap pimpinan, apakah kita sedang melatih ASN menjadi profesional atau sekadar pengikut yang tak berpikir?
Pemerintahan yang baik bukan diukur dari seberapa banyak perintah dikeluarkan, melainkan seberapa konsisten pejabatnya menaati aturan. Niat baik sekalipun, bila melanggar hukum, tetaplah pelanggaran.
Kita harus waspada. Jika ASN dibiarkan terus-menerus dijadikan instrumen politik halus, maka cepat atau lambat hukum akan kehilangan wibawa. Ia hanya akan menjadi topeng yang menutupi hasrat kekuasaan. Dan ketika hukum bukan lagi panglima, yang berlaku adalah kehendak mereka yang duduk di kursi kekuasaan.
Max Weber, filsuf politik asal Jerman, pernah mengingatkan: “Wewenang yang tidak berpijak pada sistem dan aturan justru membuka jalan bagi penyimpangan.” Pesan ini tidak pernah kehilangan relevansi, terutama saat kita menyaksikan bagaimana batas antara tanggung jawab publik dan ambisi politik kian kabur.
Jangan diam. Jangan terus mengangguk. Jangan terjebak dalam ketaatan buta. Sebab, waras adalah satu-satunya perlawanan yang tersisa ketika sistem mulai kehilangan akal sehatnya.
Salam waras dari balik bukit tulang belulang.