![]() |
Kupang,NTT, 17 Juni 2025 — Yusuf Anone, warga Desa Kauniki, Kecamatan Takari, Kabupaten Kupang, akhirnya melayangkan pengaduan resmi ke Inspektorat Pengawasan Daerah (Irwasda) Polda Nusa Tenggara Timur (NTT). Didampingi dua kuasa hukumnya, Nunu Da Costa, SH dan Simson Lasi, SH., MH, Yusuf menuntut kejelasan atas lambannya penanganan laporan polisi yang telah ia buat sejak 12 Maret 2022 terkait dugaan pemerasan dan kekerasan.
Kasus yang dilaporkan dengan nomor LP/B/60/III/2022/NTT/Polres Kupang itu, menurut Yusuf, tidak pernah memperoleh perkembangan yang berarti selama lebih dari empat tahun. Dalam surat pengaduannya yang dilayangkan tertanggal 26 Mei 2025, Yusuf mengungkapkan bahwa sejak akhir tahun 2022, dirinya tak lagi menerima surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan (SP2HP) dari penyidik BRIGPOL Fransiskus X. E. Kono yang menangani perkara tersebut di Unit Pidum Subnit III Reskrim Polres Kupang.
Tak hanya itu, Yusuf juga mengungkapkan pengalaman yang ia sebut mencurigakan saat mendampingi penyidik ke Polsek Takari untuk pemeriksaan tambahan saksi. Dalam perjalanan, penyidik sempat menyebut telah membayar ahli hukum pidana sebesar Rp5 juta dan meminta Yusuf “memaklumi” hal tersebut. “Saya tidak berani berkata apa-apa karena takut,” tulis Yusuf dalam laporannya ke Irwasda.
Yusuf mendesak agar Kapolda NTT melalui Irwasda berkoordinasi dengan Kapolres Kupang untuk segera mengambil langkah tegas, bahkan jika perlu menarik perkara ini ke Polda NTT agar proses hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Ia menegaskan bahwa keterlambatan ini telah merugikan dirinya secara moril maupun materiil dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
Nunu Da Costa, SH, selaku salah satu kuasa hukum Yusuf, menyatakan bahwa keterlambatan penanganan ini adalah bentuk pengabaian terhadap hak-hak korban.
“Penyidik tidak hanya melukai rasa keadilan pelapor, tapi juga mencoreng wajah institusi Polri. SP2HP tak pernah diberikan, tidak ada transparansi, dan lebih buruknya lagi, sudah empat tahun berlalu tapi tidak ada kejelasan status hukum laporan ini. Ini sangat mencederai harapan masyarakat pencari keadilan,” tegas Nunu di Mapolda NTT.
Sementara itu, Simson Lasi, SH., MH, kuasa hukum lainnya, mengkritik keras profesionalisme Polres Kupang dan menyebut kasus ini sebagai bukti kelalaian institusional yang harus disikapi serius oleh jajaran Polda NTT maupun Mabes Polri.
“Ini bukan kasus berat. Bukan pembunuhan atau kejahatan luar biasa. Ini kasus pemerasan dengan kekerasan. Barang bukti lengkap, korban dan saksi sudah diperiksa, bahkan katanya berkas sudah dikirim ke kejaksaan sejak 2023. Tapi sampai hari ini, tidak ada kejelasan, bahkan penyidik tidak bisa dihubungi,” kata Simson.
Ia menambahkan bahwa dalam klarifikasi yang mereka lakukan di Irwasda Polda NTT, diketahui bahwa berkas tersebut masih “menggantung” di Kejaksaan Negeri Oelamasi dan bahkan dikabarkan hilang karena jaksa yang menangani sudah pindah tugas ke Jakarta. “Kalau benar begitu, maka kami bisa simpulkan, bukan hanya Polres Kupang yang gagal, tapi Kejaksaan juga lalai. Ini bentuk pelecehan terhadap prinsip due process of law,” tandasnya.
Dalam rapat klarifikasi itu, kedua kuasa hukum mendesak agar Kapolda NTT menindak penyidik yang tidak bekerja secara profesional dan mempertimbangkan pelimpahan penanganan ke Ditreskrimum Polda NTT. Mereka bahkan menyatakan akan bersurat ke Mabes Polri jika tidak ada tindakan tegas dalam 1x24 jam.
“Kami bukan musuh Polri. Kami mitra penegakan hukum. Tapi kalau institusi tidak profesional, kami wajib bersuara. Kalau kasus ringan saja bisa empat tahun tak selesai, bagaimana masyarakat bisa percaya lagi pada proses hukum?” ujar Simson.
Melalui langkah ini, Yusuf dan para kuasa hukumnya berharap keadilan tidak hanya sekadar jargon, tapi nyata dalam tindakan. Mereka meminta agar Polda NTT mengambil sikap tegas demi menjaga marwah institusi dan memberi harapan kepada masyarakat pencari keadilan.
✏️: kl