Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

OPINI : Jangan Gegabah! Tidak Semua CPNS dan PPPK Bisa Disuruh Tagih Pajak

Jumat, 27 Juni 2025 | Juni 27, 2025 WIB Last Updated 2025-06-27T01:43:00Z

 


Oleh: Wenseslaus Wege, S.Fil

(Tinggal di balik Bukit Tengkorak)


Kabar mengenai penugasan massal CPNS dan PPPK di Kabupaten Sikka sebagai penagih pajak di seluruh desa, menarik perhatian saya. Bukan karena kebaruan idenya, melainkan karena potensi pelanggaran administratif dan hukum yang bisa menyertainya.


Saya bukan anti-pajak. Pajak adalah tulang punggung pembangunan. Tetapi, menugaskan semua aparatur sipil yang baru diangkat untuk memungut pajak tanpa melihat jabatan, keahlian, dan dasar hukumnya adalah bentuk kekacauan administratif.


Mari kita telaah secara jernih dan waras.


1. Setiap ASN Diangkat Sesuai Jabatan, Bukan Sesuai Mood Atasan


CPNS dan PPPK tidak bisa disamakan dengan "tenaga lepas multiguna." Mereka diangkat melalui proses seleksi nasional untuk formasi tertentu, seperti guru, analis, penyuluh, perawat, dan lain-lain. Masing-masing memiliki job description yang sudah ditetapkan dalam SK pengangkatan dan sistem kepegawaian nasional.


Penugasan tambahan? Boleh, asalkan masih relevan dengan jabatan, dan tidak menyimpang dari tugas pokok. Guru disuruh mengajar. Penyuluh bertugas mendampingi petani. Perawat bertugas di Puskesmas. Mereka bukan petugas Bapenda.


2. Tugas Penagihan Pajak Bukan Tugas Sembarangan


Penagihan pajak bukan perkara ringan. Ia berkaitan dengan data, kepastian hukum, bukti transaksi, dan relasi sosial yang kadang bisa memicu konflik. Petugas pemungut pajak wajib memiliki dasar hukum, surat tugas, pelatihan teknis, dan perlindungan.


Kalau bupati ingin semua desa aktif dalam penerimaan daerah, solusinya bukan memobilisasi CPNS dan PPPK secara serampangan, tetapi mengajukan formasi petugas pajak baru, memberdayakan perangkat desa, atau memperkuat kapasitas unit pajak yang ada.


3. Regulasi Melarang Penugasan di Luar Jabatan


Jika pemerintah daerah tetap memaksa CPNS dan PPPK bekerja di luar tupoksi, maka sama artinya dengan menjerumuskan aparaturnya sendiri ke dalam pelanggaran hukum. Beberapa aturan yang dengan tegas melarang hal itu antara lain:


UU ASN No. 5 Tahun 2014, yang menegaskan ASN bekerja berdasarkan jabatan dan uraian tugas yang melekat padanya.


PP No. 49 Tahun 2018, yang menyatakan bahwa PPPK hanya bisa bekerja sesuai isi perjanjian kerja.


PP No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, yang mewajibkan setiap PNS bekerja sesuai tugas dan jabatannya.


PermenPAN-RB No. 7 Tahun 2022, yang tetap mengharuskan kesesuaian jabatan dan kompetensi dalam sistem kerja birokrasi baru.


Artinya? Seorang guru bisa menolak secara sah bila disuruh memungut pajak. Bila tetap dipaksa, maka bukan pegawai itu yang melanggar, melainkan atasan langsungnya.


Solusi yang Rasional, Bukan Instruksi Asal-asalan


Kalau Bapenda kekurangan petugas, maka gunakan mekanisme resmi: tambah formasi, angkat tenaga kontrak, atau latih staf teknis yang sudah ada.


Bukan memaksa seorang bidan jadi kolektor pajak.

Bukan menyuruh guru mendata wajib pajak di jam pelajaran.

Bukan menjadikan ASN sebagai perpanjangan tangan kebijakan tambal sulam.


Menjaga Akal Sehat di Tengah Kewenangan yang Besar


Kepala daerah memang punya wewenang. Tapi wewenang bukan tiket bebas bertindak tanpa batas. Justru di situlah kualitas kepemimpinan diuji: apakah ia mampu memimpin sesuai aturan, atau hanya bertindak berdasarkan insting kuasa?


Jika ASN bekerja di luar keahliannya, hasilnya bisa fatal—baik bagi masyarakat, negara, maupun ASN itu sendiri.


Untuk itu saya hanya mau menyampaikan: tidak semua CPNS dan PPPK bisa diperintah menagih pajak di desa oleh bupati. Kecuali jika jabatan dan tugas pokoknya memang di bidang perpajakan.


Salam waras.

Dari balik Bukit Tengkorak.