Kupang,NTT, 22 Juli 2025 — Di tengah dinamika lembaga pendidikan yang terus berkembang, rotasi pemimpin tak lagi sekadar agenda birokrasi atau proses administratif rutin. Bagi Simson Lasi, SH., MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas Persatuan Guru (UPG) 1945 Nusa Tenggara Timur, pergantian kepemimpinan harus dimaknai sebagai momen strategis untuk menanam harapan, bukan sekadar menggeser posisi atau menyuburkan balas dendam.
Menurut Simson, pemimpin lembaga pendidikan memegang peran sentral sebagai penentu arah moral, budaya kerja, serta masa depan institusi. “Pemimpin bukan hanya orang yang memegang jabatan, tapi seseorang yang menanam nilai,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa dalam dunia pendidikan, pemimpin ideal bukanlah mereka yang bebas dari konflik, namun yang mampu mengelola konflik menjadi proses pendewasaan dan penyatuan kembali komunitas yang sempat retak.
Pemimpin Adalah Penanam Harapan
Simson menggambarkan bahwa lembaga pendidikan adalah kawah candradimuka tempat karakter generasi masa depan dibentuk. Maka, ketika seorang pemimpin ditunjuk atau diganti, ia seharusnya menanam harapan baru, memperkuat jembatan komunikasi, dan bukan menghidupkan kembali dendam lama.
“Rotasi adalah kesempatan untuk memperbarui arah, menyatukan visi, dan menyembuhkan luka. Bukan saat untuk menunjuk siapa yang kalah atau siapa yang harus disingkirkan,” ungkapnya.
Dalam situasi perbedaan pendapat atau friksi internal, pemimpin dituntut untuk tampil bijak, netral, dan adil. Ia harus bersikap sebagai pengayom yang menyatukan, bukan pemihak yang memecah.
Empat Pilar Kepemimpinan Pendidikan
Simson memaparkan empat prinsip utama yang harus dimiliki seorang pemimpin lembaga pendidikan:
-
Menjadi Teladan dalam Emosi dan Tindakan
Pemimpin harus menunjukkan kematangan emosi dan tidak terjebak dalam ego atau sikap reaktif. Ia tidak boleh mengambil keputusan berdasarkan kedekatan personal atau tekanan kelompok. -
Membangun Komunikasi Transparan dan Inklusif
Perpecahan sering kali berawal dari miskomunikasi. Dengan menyampaikan informasi secara terbuka dan memberikan ruang aspirasi, pemimpin bisa mencegah konflik sejak dini. -
Mengutamakan Rekonsiliasi, Bukan Balas Dendam
Balas dendam adalah racun bagi institusi pendidikan. Simson mendorong setiap pemimpin untuk membangun budaya pengampunan dan memperkuat mekanisme penyembuhan dalam organisasi. -
Fokus pada Visi Masa Depan Bersama
Ketika seluruh elemen lembaga fokus pada tujuan besar, maka energi akan diarahkan ke pembangunan. Pemimpin harus terus mengingatkan bahwa keberhasilan lembaga adalah tanggung jawab kolektif.
Dendam Melemahkan, Harapan Menguatkan
Dalam refleksi personalnya, Simson juga mengajak semua pihak untuk merenungkan: apa yang sebenarnya kita kejar saat memelihara dendam?
“Dendam menguras energi, mengaburkan masa depan, dan menjauhkan kita dari rasa damai. Ia membuat kita tersesat dalam lingkaran saling menyakiti,” kata Simson dengan nada penuh perenungan.
Sebaliknya, harapan memberi kita arah. Harapan adalah keputusan sadar untuk memaafkan, bukan karena orang lain pantas dimaafkan, melainkan karena kita pantas untuk hidup damai.
“Setiap ucapan maaf, setiap tindakan kebaikan, dan setiap langkah menuju rekonsiliasi adalah benih harapan yang kita tanam. Dalam dunia pendidikan, benih itu akan tumbuh menjadi pohon-pohon kuat yang menaungi generasi masa depan,” tambahnya.
Ajakan Menjadi Agen Perubahan
Mengakhiri pesannya, Simson Lasi menyampaikan seruan kuat bagi siapa pun yang tengah diberi amanah kepemimpinan:
“Pilihlah menjadi penanam harapan. Jadilah agen perubahan, bukan perpanjangan tangan dari luka dan kebencian masa lalu. Mari kita bangun lembaga pendidikan yang terang, bersih dari dendam, dan kaya akan kasih serta semangat persatuan.”
Simson percaya bahwa hanya dengan menyingkirkan beban perpecahan dan mematahkan rantai dendam, pendidikan bisa menjalankan tugas sucinya: membangun manusia yang utuh, cerdas, dan berakhlak mulia.
✒️: kl