![]() |
Dedi Parera kritik keras Pemkab Sikka yang diskriminatif terhadap rakyat kecil, bandingkan dengan Kota Kupang yang beri ruang bagi ekonomi rakyat. |
Kota Kupang, NTT —Kritik tajam datang dari Dedi Parera, mantan aktivis PMKRI dan pegiat sosial asal Kabupaten Sikka, terhadap kebijakan pemerintah daerahnya yang dinilai semakin jauh dari kepentingan rakyat kecil. Dalam kunjungannya ke Kota Kupang beberapa hari terakhir, Dedi menilai ada perbedaan mencolok antara dua daerah itu: Kupang membuka ruang bagi ekonomi rakyat, sementara Sikka justru sibuk menutupnya.
Menurut Dedi, Pemerintah Kota Kupang memberi contoh nyata bagaimana keberpihakan terhadap masyarakat kecil seharusnya diwujudkan. Di berbagai ruas jalan protokol hingga kawasan permukiman, para pedagang ikan, sayur, hingga kuliner malam berjualan bebas tanpa rasa takut. Tidak ada razia, tidak ada pengusiran — yang ada hanyalah pemerintah yang memahami perut rakyatnya.
“Saya menyaksikan sendiri di Kupang, rakyat bisa berjualan bahkan di atas trotoar. Pemerintah tidak melarang, malah memberi ruang. Ini kota yang paham arti hidup bersama rakyatnya,” ujar Dedi Parera kepada Redaksi news-daring.com, Rabu (15/10).
Ia mencontohkan Kampung Solor, yang setiap malam ramai dengan aktivitas ekonomi rakyat. Pemerintah setempat bahkan menutup jalan sementara agar masyarakat bisa berjualan dengan aman dan tertib.
“Mulai dari Jalan Jenderal Soeharto hingga Oepura Tofa, masyarakat berdagang di badan jalan. Pemerintah tidak memusuhi mereka, justru mendukung karena tahu inilah cara rakyat mencari makan dengan bermartabat,” ujarnya.
Dedi juga menyinggung Taman Nostalgia Kupang, yang setiap malam Minggu dan Minggu malam menjadi pusat kuliner rakyat. Pemerintah menyediakan fasilitas listrik, kebersihan, dan keamanan agar para pedagang bisa berjualan hingga tengah malam tanpa gangguan.
“Itu bedanya Kupang dan Sikka. Kupang hidup karena pemerintahnya berpihak. Sikka sekarat karena pemerintahnya memusuhi rakyat kecil,” sindirnya tajam.
Menurut Dedi, langkah Pemkab Sikka yang berencana menutup Pasar Wuring adalah bentuk nyata diskriminasi terhadap rakyat kecil. Padahal, pasar itu sudah berdiri sejak tahun 1990-an dan menjadi tumpuan hidup bagi ratusan keluarga nelayan serta pedagang kecil.
“Para pedagang di sana membayar retribusi setiap bulan. Kalau dijumlah, sekitar tiga puluh juta rupiah per tahun masuk ke kas daerah. Tapi justru pasar itu mau ditutup. Pemerintah mau bunuh rakyatnya sendiri, logikanya di mana?” tegasnya.
Pasar Wuring, lanjut Dedi, hanya beroperasi tiga jam setiap sore dari pukul 17.00 hingga 20.00 WITA, tanpa mengganggu arus lalu lintas. Lebih dari itu, area pasar berdiri di atas tanah milik pribadi bersertifikat SHM, bukan lahan pemerintah.
“Di Kupang, rakyat didukung untuk berdagang. Di Sikka, rakyat ditakuti seolah mereka penjahat. Padahal mereka hanya berjuang mencari nafkah di tanah sendiri,” tambahnya.
Menutup pernyataannya, Dedi menyerukan agar Pemerintah Kabupaten Sikka belajar dari Kota Kupang — bukan hanya soal pembangunan fisik, tetapi tentang keadilan sosial dan keberpihakan terhadap rakyat kecil.
“Saran saya, Bupati Sikka dan seluruh jajarannya datanglah belajar ke Kupang. Belajar bagaimana menghormati rakyat, bukan menakuti mereka. Pemerintah yang hebat bukan yang menertibkan rakyat kecil, tapi yang menertibkan pikirannya sendiri agar berpihak pada rakyat,” pungkas Dedi Parera.
“Kupang tumbuh karena memberi ruang bagi rakyatnya. Sikka meredup karena pemerintahnya takut pada rakyat kecil.”
✒️: kl