Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

Ketika Sukacita Harus Pamit Sebelum Tengah Malam

Sabtu, 04 Oktober 2025 | Oktober 04, 2025 WIB Last Updated 2025-10-04T15:36:31Z
Refleksi tentang kebijakan Wali Kota Kupang yang membatasi musik pesta hingga pukul 22.00, antara tradisi, budaya, dan nalar sehat masyarakat. (📸: ilustrasi) 


Oleh: Pemazmur Jalan


Surat edaran Wali Kota Kupang yang membatasi putaran musik pesta hanya sampai pukul 22.00 itu terdengar seperti ketukan palu yang membelah dua dunia: dunia sukacita dan dunia ketertiban. Sebagian orang menyambutnya dengan lega, sebagian lain mengernyit — sebab bagi banyak orang Kupang, pesta yang berhenti sebelum tengah malam terasa seperti lagu yang dipotong sebelum reff-nya.


Di tanah ini, pesta bukan sekadar hiburan. Ia adalah jantung kebersamaan, ruang di mana orang-orang menari bukan karena irama, melainkan karena rasa syukur dan perjumpaan. Musik yang menggema hingga menjemput fajar adalah bahasa kegembiraan — cara orang Kupang merayakan hidup yang keras dengan tawa, dentum, dan langkah kaki di tanah berdebu.


Namun, di sisi lain, kita juga hidup dalam kota yang tak semuanya berpesta. Ada anak-anak yang ingin tidur nyenyak, ada orang tua yang sakit, ada pekerja yang harus bangun dini hari. Dalam setiap dentum speaker yang menggetarkan malam, ada juga jendela yang bergetar di rumah sebelah, ada bayi yang terbangun, ada orang yang mengelus dada menahan lelah.


Maka, kebijakan pembatasan itu sudah benar. Ia bukanlah musuh kegembiraan, melainkan cermin kecil agar kita belajar menakar diri — bahwa kebebasan tanpa kendali sering berujung pada kekacauan kecil yang lama-lama menjadi kebiasaan buruk.


Tradisi tidak pernah mati karena waktu; ia mati karena keangkuhan menolak berubah. Kita boleh menari, tapi kita juga harus tahu kapan berhenti. Kita boleh berpesta, tapi kita juga mesti belajar menghormati mereka yang ingin tidur. Mungkin, di situlah letak nalar sehat manusia — menempatkan diri di antara hak pribadi dan hak bersama.


Kupang tidak akan kehilangan sukacitanya hanya karena musik berhenti lebih cepat. Sebab sukacita sejati tidak diukur dari berapa lama lagu dimainkan, tetapi dari seberapa dalam kita bisa menghargai satu sama lain.


Malam boleh berakhir, tapi kebersamaan tidak harus padam.Biarlah musik berhenti pukul sepuluh, asal hati tetap berdentum sampai fajar.