![]() |
| Lipa Songke, kain tenun khas Manggarai, bukan sekadar busana, melainkan bahasa tanpa kata yang menyimpan nilai, doa, dan filosofi kehidupan masyarakat Flores. |
Oleh: Laurensius Bagus
(Mahasiswa Universitas Cokrominoto Yogyakarta)
Di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, kain bukan sekadar pelindung tubuh. Ia adalah bahasa, doa, dan simbol kehidupan. Di antara beragam warisan budaya di tanah Flores bagian barat ini, lipa songke menempati tempat istimewa — selembar kain tenun berwarna hitam dengan motif putih, merah, dan kuning yang berbicara tanpa suara tentang asal-usul, nilai, dan hubungan manusia dengan leluhur.
Lipa Songke adalah bentuk komunikasi tanpa kata. Ia berbicara melalui warna, pola, dan kesabaran tangan penenunnya. Dalam setiap helai benang, masyarakat Manggarai membaca filosofi hidup yang diwariskan turun-temurun: tentang keseimbangan antara manusia dan alam, keteraturan sosial, dan penghormatan kepada para leluhur yang senantiasa hadir dalam kehidupan.
Warna dasar hitam bukan sekadar simbol duka, tetapi lambang ketenangan dan kedalaman batin. Putih mencerminkan kesucian dan kejujuran. Merah adalah semangat dan vitalitas hidup, sementara kuning menandakan keberanian dan kemuliaan. Kombinasi warna itu bukan sekadar hiasan, melainkan ajaran moral yang dijalin dengan benang-benang kesabaran — sebuah panduan hidup yang dibungkus dalam keindahan.
Motif dalam Lipa Songke juga memuat bahasa simbolik yang sarat makna. Motif golo (gunung) menandakan kampung adat sebagai pusat kehidupan dan tempat berhubungan dengan leluhur. Motif wae (air) melambangkan kesuburan dan keberlanjutan hidup, sedangkan ai (pohon) menandakan keteguhan dan kesinambungan generasi. Pola-pola garis yang teratur adalah cerminan tatanan sosial, sedangkan garis bersilang melambangkan pertemuan dunia manusia dan dunia roh.
Dalam setiap fase kehidupan masyarakat Manggarai, lipa songke selalu hadir. Saat pesta perkawinan, ia menjadi simbol penghormatan dan ikatan dua keluarga. Dalam upacara kematian, lipa songke dibentangkan di atas jenazah sebagai doa bagi arwah yang berpulang. Ketika tamu adat datang, pemberian kain menandai penerimaan dan penghormatan. Dalam semua peristiwa itu, kain berbicara lebih fasih daripada kata-kata.
Keindahan lipa songke juga terletak pada proses pembuatannya. Sebagian besar penenun adalah perempuan — ibu, nenek, dan anak perempuan yang mewariskan keterampilan ini secara turun-temurun. Menenun bagi mereka bukan hanya kerja tangan, tetapi latihan batin. Kesabaran, ketelitian, dan ketulusan menjadi benang yang menyatukan teknik dengan makna.
“Kalau hati tidak tenang, motifnya bisa salah. Setiap benang adalah doa,” begitu ungkap para penenun di Ruteng dan Cancar. Dalam diam, mereka menulis sejarah dan nilai-nilai hidup di atas benang, membangun jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Lipa Songke adalah dokumen budaya yang hidup — ia menyimpan nilai, cerita, dan filosofi dalam bentuk visual yang dapat dibaca oleh siapa pun yang memahami bahasanya. Dari tangan perempuan Manggarai, lahirlah karya yang mengajarkan disiplin, keselarasan, dan cinta terhadap akar tradisi.
Kini, di tengah arus modernisasi dan globalisasi, lipa songke tetap bertahan. Ia tampil dalam busana modern, dikenakan dalam acara resmi, bahkan menjadi simbol kebanggaan daerah. Namun makna dasarnya tak pernah luntur: lipa songke tetap menjadi pengingat tentang siapa manusia Manggarai dan bagaimana mereka menjaga keseimbangan hidup di tengah perubahan zaman.
Dalam dunia yang kian bising oleh kata-kata, lipa songke mengajarkan cara lain untuk berbicara — dengan keheningan, kesabaran, dan keindahan. Ia tidak berteriak, tidak berdebat. Ia diam, namun pesannya abadi: bahwa identitas dan martabat bisa dijaga melalui benang-benang yang ditenun dengan hati.
