Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

Komuni Suci di Gubuk Bambu: Merayakan Iman, Bukan Kemewahan

Kamis, 19 Juni 2025 | Juni 19, 2025 WIB Last Updated 2025-06-19T03:55:24Z

 


Oleh: Yanto De Flores

Beberapa waktu lalu, saya menyaksikan dua wajah perayaan. Di satu sisi, ada pesta meriah dengan dentuman musik, gaun mentereng, perhiasan mengkilap, dan barisan mobil mewah para pejabat yang berjajar rapi di halaman rumah sang pemilik hajatan. Di sisi lain, saya melihat cahaya temaram dari sebuah pelita di gubuk bambu—yang justru memancarkan terang iman lebih kuat dari lampu sorot mana pun.


Dari balik dinding sederhana rumah itu, terdengar lagu “Biarkan Anak-Anak Datang Pada-Ku”. Ternyata, keluarga miskin itu sedang merayakan Komuni Suci seorang anak gadis mereka. Tanpa pesta besar. Tanpa baju mahal. Tanpa dekorasi meriah. Tapi ada cinta. Ada kebersamaan. Ada iman yang tulus dan murni.


Kita Sedang Dibutakan oleh Simbol, Lupa Esensi


Saya terhenyak. Bukankah inilah ironi zaman sekarang? Komuni Suci, yang seharusnya menjadi momen spiritual mendalam, justru sering berubah menjadi ajang pamer gengsi dan kekayaan. Anak-anak diajarkan sejak dini bahwa sakramen suci itu hanya sah jika dibarengi pesta besar, makanan berlimpah, tamu-tamu penting, bahkan selebgram gereja.


Padahal Yesus sendiri datang ke dunia dalam palungan—tempat yang hina, namun penuh kemuliaan. Lalu mengapa hari-hari ini, kita justru membungkus kehadiran-Nya dalam gemerlap pesta yang lebih mirip resepsi elite daripada perayaan iman?


Gadis Kecil, Gubuk Kumuh, dan Kerajaan Allah


Di gubuk kecil itu, saya belajar ulang makna iman. Anak kecil itu, yang merayakan Komuni Suci dengan keluarga dan tetangga buruh tani, justru mewakili pesan Yesus: “Biarkan anak-anak datang kepada-Ku, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga.”


Bukan mereka yang naik mobil mewah. Bukan mereka yang sibuk selfie dengan latar altar. Bukan pula mereka yang lebih peduli gaun putih mahal daripada makna putih di hati.


Iman yang Tulus Tak Butuh Panggung


Hari ini, kita perlu bertanya: untuk siapa sebenarnya Komuni Suci itu dirayakan? Untuk Tuhan, atau untuk pujian tetangga? Untuk keselamatan jiwa, atau untuk status sosial?


Momen di gubuk itu menyadarkan saya, bahwa iman tak butuh panggung. Tuhan hadir dalam kesederhanaan, dalam tepuk tangan buruh kecil, dalam nyanyian lirih dari radio tua, dan dalam lilin kecil yang menyala di atas meja reyot—lebih indah dari ratusan lampu pesta.


Semoga perayaan iman—baik Komuni Suci, Baptis, atau Sakramen lainnya—tidak lagi jadi ladang bisnis atau pertunjukan sosial. Mari kita kembalikan maknanya kepada kesederhanaan, keintiman dengan Tuhan, dan kebersamaan komunitas kecil yang tulus. Karena di sanalah sesungguhnya, Tuhan paling senang menetap.