Oleh: Wenseslaus Wege, S.Fil
Di tengah banjir informasi dan kebisingan opini publik, sering kali kita gagal membedakan antara orang yang tidak tahu dan orang yang keliru. Dua hal ini tampak serupa, namun hakikat dan dampaknya sangat berbeda. Sayangnya, dalam praktik sosial dan kebijakan, keduanya sering dipukul rata, bahkan dijadikan alat saling serang.
Dalam konteks terbaru di Nian Tanah, kita menyaksikan kegaduhan yang ditimbulkan oleh kebijakan Bupati yang menugaskan secara massal para CPNS dan PPPK untuk melakukan penagihan pajak daerah demi peningkatan PAD. Surat Perintah itu kemudian menuai kontroversi dan berujung klarifikasi bahwa terdapat kekeliruan dalam substansi kebijakan tersebut. Bukan sekadar salah tafsir, tetapi keliru dalam memahami peran dan fungsi ASN sesuai aturan perundang-undangan.
Di sinilah pentingnya membedakan:
Tidak tahu adalah kondisi alami manusia. Ia adalah titik awal dari proses belajar. Orang yang tidak tahu biasanya menyadari keterbatasannya dan lebih terbuka terhadap informasi serta koreksi. Dalam kondisi ini, ada ruang untuk bertanya, mendengar, dan memahami. Seperti yang pernah dikatakan Socrates, “The only true wisdom is in knowing you know nothing.” Kesadaran bahwa kita tidak tahu justru adalah pintu menuju pengetahuan dan kebijaksanaan.
Sebaliknya, keliru adalah situasi ketika seseorang merasa tahu, padahal pemahamannya menyimpang dari kebenaran. Ini jauh lebih berbahaya karena sering kali dibungkus dengan keyakinan diri yang tinggi. Orang yang keliru tidak sekadar tidak tahu, tetapi membawa kesalahan dalam pengetahuan yang diyakininya benar. Socrates menyebutnya sebagai “kebodohan sombong” (ignorantia docta), yaitu ketidaktahuan yang merasa dirinya berpengetahuan.
Filsuf modern René Descartes pun menekankan pentingnya keraguan dalam membangun pengetahuan yang dapat dipercaya. Dengan ungkapan terkenalnya “Cogito ergo sum”, ia menunjukkan bahwa proses berpikir kritis—termasuk meragukan apa yang selama ini kita anggap benar—adalah langkah awal menuju kepastian yang sejati.
Dalam konteks kebijakan publik, kekeliruan jauh lebih fatal daripada ketidaktahuan. Seorang pejabat publik yang tidak tahu masih bisa belajar, mendengar, dan memperbaiki diri. Namun, pejabat yang keliru—dan enggan mengakui kekeliruannya—berisiko membawa sistem pemerintahan ke arah yang menyesatkan. Lebih buruk lagi, ketika kekeliruan ini dibungkus narasi pembenaran, maka lahirlah apa yang saya sebut sebagai kesombongan intelektual struktural, yang menutup semua pintu pembelajaran dan perubahan.
Oleh karena itu, penting bagi kita semua—baik pejabat, akademisi, maupun masyarakat sipil—untuk rendah hati dalam pengetahuan dan terbuka pada koreksi. Karena dari kekeliruan yang diakui, akan lahir pembelajaran yang bermakna. Tapi dari kekeliruan yang dipertahankan, hanya akan lahir kedunguan kolektif yang merusak.
Mari belajar dari kekurangan, dari kesalahan, dari keliru.
Mari jujur dalam ketidaktahuan.
Dan yang paling penting: jangan pertahankan kekeliruan Anda—karena dari situlah awal dari kehancuran berpikir.
Salam waras
dari balik bukit tulang belulang.