Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

Hukum Dibeli, Tanah Dirampas: Di Sikka, Keadilan Dikubur

Minggu, 06 Juli 2025 | Juli 06, 2025 WIB Last Updated 2025-07-06T06:43:33Z

 

Mewakili Keluarga Lope Motong Heo, Keluarga Besar Lepo Tanah Hewokloang dan Suku Keytimu

Oleh: Thomas Alva Edison (El Volcano Benbao)


Maumere, 6 Juli 2025- Di negeri ini, hukum ternyata bisa dibungkus dalam amplop, dibisikkan lewat telepon gelap, lalu ditegakkan untuk mereka yang punya uang. Sementara rakyat kecil? Diperiksa, dijebloskan, lalu diusir dari tanahnya sendiri. Inilah tragedi kami — kisah pilu tentang bagaimana keadilan dikubur hidup-hidup di Sikka.


Saya bukan penjahat. Kami bukan perampok. Kami hanyalah anak-anak kampung yang menggantung hidup dari kerja keras — dari keringat yang halal. Tapi hari ini, kami sedang dilabeli sebagai pesakitan. Suwarno Goni, pemilik Toko GO, menggiring kami ke pengadilan, menuduh kami merugikan usahanya, lalu perlahan tapi pasti — menyasar rumah dan tanah kami sebagai tumbal.


Kerja tanpa kontrak. Tanpa perlindungan. Semua sistem penjualan dikendalikan langsung oleh dia. Tapi saat terjadi dugaan selisih, kami yang dikorbankan. Ini bukan salah hitung — ini jebakan. Ini bukan gugatan — ini rencana rampasan.


Lebih dari sekadar kehilangan pekerjaan, kini kami sedang menghadapi pengambilalihan tanah warisan leluhur, tanah di mana nisan orang tua kami berdiri, tanah di mana kami lahir dan akan mati. Dan semua itu hendak diseret ke meja lelang, dibungkus rapi dalam surat keputusan perdata yang penuh aroma busuk: aroma kolusi.


Kami paham betul hukum bisa dibajak. Kami tahu betul, pasal-pasal bisa diarahkan. Tapi kami juga tahu: kami punya hak untuk bertahan. Kami punya martabat yang tidak bisa dibeli.


Di bawah KUHP Pasal 49, di bawah hukum adat yang lebih tua dari republik ini, dan di bawah restu gereja yang berdiri di tengah kampung kami — kami menyatakan: barang siapa menyentuh tanah kami, dia sedang menodai harga diri seluruh suku kami.


Jangan ajari kami diam. Kami bukan generasi yang akan menyerah. Jika mereka pakai meja hakim, kami pakai suara rakyat. Jika mereka pakai uang, kami pakai keberanian. Karena kami tahu, keadilan yang tidak bisa dibela dengan hukum, harus dibela dengan nyali.


Ini bukan sekadar tanah. Ini kehormatan. Ini identitas. Ini sejarah. Dan kami tidak akan serahkan satu jengkal pun — kecuali lewat tubuh kami yang kaku.


Hari ini, hukum dibeli. Tanah dirampas. Dan di Sikka — keadilan sedang dikubur sambil tertawa.