Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

Kapolri Listyo Sigit Layak Dipecat, Bukan Cosmas

Kamis, 04 September 2025 | September 04, 2025 WIB Last Updated 2025-09-04T02:40:17Z

 

oleh Inosius Pati Wedu, seorang buruh, penggiat literasi, dan aktivis sosial.

Tragedi di depan gedung DPR yang menewaskan Affan Kurniawan, seorang driver ojek online, akan dikenang sebagai salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah demokrasi kita. Affan tewas setelah dilindas mobil taktis (rantis) Brimob saat aksi demonstrasi. Peristiwa ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan tragedi yang lahir dari cara aparat memperlakukan rakyat sebagai ancaman, bukan sebagai warga negara yang harus dilindungi.


Namun, yang lebih menyakitkan adalah bagaimana kasus ini ditutup dengan pemecatan tidak hormat terhadap Kompol Cosmas Kaju Gae dan Bripka Rohmat. Mereka dijadikan pelaku utama, seolah-olah tragedi ini murni kesalahan dua orang. Padahal Polri sendiri telah mengakui bahwa lebih dari satu personel terlibat dalam peristiwa maut ini.


Dalam sidang etik, Polri membagi tanggung jawab dengan hasil sebagai berikut:


Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH):


-Kompol Cosmas Kaju Gae, perwira pendamping yang duduk di kursi depan.

-Bripka Rohmat, sopir mobil taktis Brimob yang melindas Affan.


Sanksi Etik Sedang (penumpang belakang mobil taktis):


-Aipda M. Rohyani

-Briptu Danang

-Briptu Mardin

-Baraka Jana Edi

-Baraka Yohanes David


Daftar ini menunjukkan dengan jelas bahwa tragedi tersebut adalah hasil dari rangkaian tindakan kolektif. Ada sopir, ada perwira pendamping, ada penumpang, semua bagian dari satu operasi. Namun, hanya Cosmas dan Rohmat yang dijatuhi hukuman paling berat berupa pemecatan tidak hormat. Lima lainnya hanya menerima sanksi ringan. Pertanyaannya: mengapa hukuman paling keras hanya dijatuhkan kepada dua orang, sementara tanggung jawab besar di level komando justru luput dari jeratan?


Polri jelas membutuhkan kambing hitam besar untuk menyelamatkan wajah institusi. Cosmas dan Rohmat dijadikan tumbal. Dengan cara ini, publik diarahkan untuk percaya bahwa masalah telah selesai, bahwa pelaku sudah dihukum, padahal sesungguhnya yang dihukum hanya bawahan, bukan pemegang komando tertinggi.



Kapolri Listyo Sigit: Pucuk Komando yang Kebal Hukum


Kita semua tahu, mobil taktis Brimob tidak mungkin melindas massa tanpa perintah. Operasi pengamanan di depan DPR tentu direncanakan, disetujui, dan dipimpin oleh jajaran tinggi kepolisian. Puncak komando ada di tangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Namun, lagi-lagi pola lama dipertontonkan: hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah.


Pakar hukum tata negara Refly Harun dengan gamblang mengatakan, jika bawahan hanya menjalankan perintah maka rantai komando harus ditarik ke atas. Jika seorang kompol bisa dipecat, maka secara logika hukum Kapolri juga tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Tetapi kenyataannya berbeda: Cosmas dan Rohmat dipecat tidak hormat, sementara Listyo Sigit aman di kursi empuknya.


Inilah yang membuat pemecatan dua orang tersebut lebih mirip akrobat politik daripada penegakan keadilan. Mereka dikorbankan demi memberi kesan bahwa Polri bertindak tegas. Padahal semua tahu, keadilan tidak boleh berhenti di kursi depan mobil taktis Brimob. Keadilan harus naik hingga kursi Kapolri. Organisasi masyarakat sipil seperti KontraS sudah menyebut praktik ini sebagai scapegoating tradisi lama Polri yang mengorbankan bawahan demi menyelamatkan pimpinan. Nurani dikorbankan demi citra.


Jika Cosmas dan Rohmat dipecat karena berada di kursi depan mobil yang melindas Affan, maka Kapolri lebih pantas dicopot karena duduk di kursi komando tertinggi. Analogi sederhananya, seorang sopir bus tidak bisa dipersalahkan sendirian jika kecelakaan terjadi akibat perintah perusahaan untuk mengebut. Begitu pula Cosmas dan Rohmat: mereka hanya bagian kecil dari mesin besar bernama Polri. Sementara direkturnya,Kapolri Listyo Sigit Prabowo tetap aman tanpa disentuh hukum.


Affan Kurniawan dilindas mobil taktis Brimob. Ia bukan korban kecelakaan, melainkan korban dari sistem represif yang gagal melindungi rakyat. Keadilan sejati hanya akan hadir jika rantai komando ditarik penuh, dari sopir rantis hingga pucuk pimpinan Polri. Bila Kapolri tetap dibiarkan aman, maka tragedi Affan hanyalah satu dari sekian banyak episode lama: rakyat jadi korban, bawahan jadi tumbal, atasan tetap kebal.


Sejarah akan mencatat bahwa dalam kasus Affan Kurniawan, bukan hanya seorang ojol yang tewas karena dilindas mobil taktis Brimob, melainkan juga keadilan yang digilas oleh mesin kekuasaan. Dan publik akan terus mengingat: yang sebenarnya pantas dicopot bukanlah Cosmas dan Rohmat, melainkan Kapolri Listyo Sigit Prabowo pemimpin yang gagal melindungi rakyat, gagal menjaga keadilan, dan gagal membela anak buahnya sendiri.