![]() |
| Rencana penutupan Pasar Wuring dinilai sebagai bentuk arogansi kekuasaan yang abai pada rakyat kecil. Pater Vande Raring menulis refleksi tajam ini. |
Oleh: Pater Vande Raring
Rencana penutupan Pasar Wuring di Kabupaten Sikka akhir-akhir ini menimbulkan keprihatinan mendalam. Kebijakan itu muncul di tengah situasi ekonomi rakyat kecil yang sedang lemah, dan bagi banyak orang — termasuk saya — keputusan seperti ini terasa tidak masuk akal dan menyakitkan bagi nurani.
Pasar adalah nadi ekonomi rakyat kecil. Menutupnya berarti memutus urat nadi kehidupan masyarakat.
Pertanyaannya sederhana:
Mengapa tidak ada dialog dengan warga dan pelaku usaha terlebih dahulu? Bukankah mereka ini masyarakat Sikka sendiri — yang setiap hari berjuang untuk hidup dan bahkan memberi kontribusi bagi daerah melalui pajak serta perputaran ekonomi lokal?
Rakyat tidak boleh diperlakukan sesuka hati hanya karena kekuasaan. Kekuasaan adalah mandat dari rakyat, bukan alat untuk menindas rakyat. Jika memang ada persoalan tata kelola, kebersihan, atau administrasi, jalan keluarnya adalah dialog, bukan pemaksaan kehendak.
Kekuasaan Bukan Kuasa untuk Menindas
Kita harus berani mengatakan dengan jujur: Menutup pasar tanpa proses dialog adalah bentuk arogansi kekuasaan.
Negara ini tidak boleh menjadi alat penindasan terhadap rakyat kecil. Negara ada karena rakyat. Negara kuat karena rakyat percaya. Bila rakyat kehilangan kepercayaan, negara pun kehilangan legitimasinya.
Apalagi, di lokasi Pasar Wuring terdapat bangunan hasil program PNPM — yang dibangun dari uang rakyat. Bila pasar ditutup, apa nasib bangunan itu? Apakah dibiarkan terbengkalai?
Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal penghargaan terhadap jerih payah rakyat sendiri.
Kedaulatan Itu Milik Rakyat
Konstitusi kita menegaskan: kedaulatan berada di tangan rakyat. Kekuasaan hanyalah mandat sementara, berlaku selama lima tahun — dan hanya bisa diperpanjang bila rakyat masih percaya.
Karena itu, kekuasaan harus digunakan untuk menyejahterakan rakyat, memberi rasa aman, dan memastikan setiap warga hidup dengan martabat. Bukan untuk menutup ruang hidup mereka.
Wakil Rakyat, Saatnya Bersikap
Saya ingin mengingatkan 35 anggota DPRD Kabupaten Sikka: Diam terhadap penderitaan rakyat adalah bentuk pengkhianatan terhadap sumpah jabatan.
Wakil rakyat seharusnya bersuara lantang membela rakyat, bukan diam menunggu badai lewat. Karena bila keadilan mati di tengah pasar rakyat, maka rakyat akan belajar bersuara sendiri.
Rencana penutupan Pasar Wuring bukan hanya soal ekonomi —tapi ujian moral dan kemanusiaan.
Apakah negara akan hadir sebagai sahabat rakyat,atau sebagai penguasa yang menindas?
Semoga nurani para pemegang kuasa masih hidup,karena tanpa nurani, kekuasaan hanyalah kesia-siaan. Dan tanpa rakyat, tidak akan pernah ada negara.
Tentang Penulis:
Pater Vande Raring adalah Pastor dan Pemerhati Sosial Kemasyarakatan di Kabupaten Sikka. Saat ini bekerja di Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) Serikat Sabda Allah (SVD).
