Oleh: Yohanis Rianto, Pemuda Pemerhati Sosial
Pedagang pasar bukan boneka yang bisa dipindahkan sesuka hati. Mereka adalah denyut nadi ekonomi rakyat kecil yang setiap hari berjuang di tengah kerasnya kehidupan. Di balik tumpukan sayur, daging, dan hasil bumi yang dijajakan, tersimpan harapan besar untuk anak-anak mereka bisa makan, sekolah, dan hidup lebih baik.
Namun belakangan ini, suara para pedagang mulai menggema: mereka menolak rencana relokasi yang dinilai tidak berpihak kepada kepentingan mereka. Selama ini, fasilitas di tempat mereka berdagang sudah terbilang layak. Retribusi pasar dan biaya parkir yang harus dibayar pun cukup besar, tetapi mereka rela, karena pelayanan dan kenyamanan yang diberikan pihak pengelola selama ini cukup memadai.
Yang lebih menarik, di Wuring — tempat para pedagang selama ini mencari nafkah — justru bukan pemerintah yang menyiapkan lokasi, melainkan CV Bengkunis Jaya.
Di tempat itu, fasilitasnya sangat layak dan bersih, dengan biaya yang tidak memberatkan pedagang.
Mereka hanya dikenakan biaya lampu Rp5.000 per titik, dan seluruh area ditata agar para pedagang bisa berjualan dengan aman dan nyaman.
Bagi para pedagang, bukan soal besar kecilnya biaya — asal bisa tetap berjualan dan menghidupi kebutuhan ekonomi keluarga, itulah yang terpenting.
Lalu mengapa harus dipindahkan ke tempat yang disebut “pasar induk baru”, tetapi justru minim fasilitas, jauh dari pusat aktivitas ekonomi, bahkan menyerupai gubuk tua?
Ini tentu tidak masuk akal. Relokasi tanpa dasar rasional dan tanpa dialog hanyalah bentuk lain dari kebijakan yang tak berpihak pada rakyat kecil.
Sebelum bicara relokasi, pemerintah seharusnya membuka mata dan telinga untuk melihat kenyataan di lapangan serta mendengar keluhan pedagang. Evaluasi dan perombakan tata kelola pasar jauh lebih penting daripada sekadar memindahkan pedagang dari satu lokasi ke lokasi lain tanpa perencanaan matang.
Kita masih ingat pernyataan Bupati Sikka saat meresmikan KSP Pintu Air di Talibura beberapa waktu lalu. Dalam arahannya, beliau menekankan bahwa penguatan ekonomi daerah harus dimulai dari peningkatan sektor riil, terutama pasar tradisional yang nyaman, bersih, dan tertata baik.
“Ikat pinggang kita harus diperkuat lagi dalam hal perekonomian. Daerah yang kuat dimulai dari peningkatan ekonomi rakyat melalui pasar-pasar tradisional yang nyaman dan tertib,” ujar Bupati kala itu.
Pesan itu jelas: penguatan ekonomi tidak bisa berjalan tanpa menata pasar dengan hati.
Pasar tradisional bukan sekadar tempat jual beli, melainkan ruang sosial tempat warga saling bertemu, bertukar kabar, dan menjaga kebersamaan.
Relokasi tanpa rencana matang hanya akan mematikan semangat hidup pedagang. Karena itu, tidak perlu beretorika berlebihan — yang dibutuhkan sekarang adalah fokus membenahi fasilitas dan tata kelola pasar. Pemerintah mesti hadir dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil, bukan mempermainkan mereka dengan program yang tak menyentuh akar persoalan.
Sebab, bila pasar tradisional mati, maka pelan-pelan ekonomi rakyat pun akan ikut mati. Dan ketika itu terjadi, jangan salahkan rakyat jika mereka akhirnya berteriak: “Kami bukan boneka — kami rakyat kecil yang ingin hidup layak di tanah sendiri.”