![]() |
Stanislaus Wena dan Kanwil Kemenkumham NTT ajak 500 mahasiswa UPG 1945 NTT berdiskusi HAM secara interaktif, tekankan pentingnya kesadaran sejak dini. |
Kupang NTT– Sebanyak 500 mahasiswa Universitas Persatuan Guru (UPG) 1945 NTT mendapatkan pengalaman berbeda dalam pembelajaran tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Jumat (3/10). Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber, yakni Stanislaus Wena, Staf Khusus Menteri Hukum dan HAM RI Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Hubungan Internasional, serta Kanwil Kemenkumham NTT melalui Hiro.
Berbeda dengan kuliah umum biasanya, kegiatan ini berlangsung di halaman kampus UPG 1945 NTT dengan suasana yang lebih terbuka, interaktif, dan penuh semangat.
Dalam penyampaiannya, Stanislaus Wena memilih metode yang tidak biasa. Ia mengajak mahasiswa bertanya langsung, lalu menjawab satu per satu pertanyaan dengan gaya santai dan penuh contoh konkret. Bahkan, ia menyiapkan hadiah uang tunai bagi penanya terbaik untuk memacu antusiasme mahasiswa.
“Penghormatan tertinggi terhadap manusia adalah melihat orang lain sebagai diri kita yang lain. Kalau kita sudah punya kesadaran kolektif, maka perdamaian bukan sekadar utopia, tapi bisa menjadi kenyataan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti tantangan di era digital. Menurutnya, derasnya arus informasi bisa bermanfaat, tetapi juga bisa menjerumuskan jika tidak diimbangi nalar kritis. “Mahasiswa harus mampu membedakan mana informasi benar dan mana hoaks. Tanpa itu, kita bisa jadi korban atau pelaku penyebaran informasi sesat,” jelasnya.
Stanislaus juga menyinggung persoalan bullying, kesetaraan gender, hingga pentingnya menjunjung martabat manusia dalam kehidupan kampus. Ia menekankan bahwa HAM bukan sekadar teori, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata.
Sementara itu, dari Kanwil Kemenkumham NTT, Hiro memberikan penjelasan tentang dasar hukum HAM di Indonesia, yakni UU No. 39 Tahun 1999. Ia menegaskan bahwa HAM adalah hak dasar yang melekat sejak manusia dalam kandungan hingga akhir hayat, karena keberadaannya sebagai ciptaan Tuhan.
Menurut Hiro, esensi HAM justru bisa dilihat dari hal-hal sederhana. “HAM bukan hanya teori besar. Esensinya bisa kita lihat dari bagaimana kita memperlakukan teman sebangku di ruang kelas. Itulah bentuk penghormatan martabat manusia,” ujarnya.
Ia kemudian menguraikan 10 hak dasar manusia, di antaranya hak hidup, hak memperoleh pendidikan, hak atas kesehatan, hak kebebasan pribadi, hak kesejahteraan, hingga hak perlindungan bagi perempuan, anak, dan kelompok rentan.
Lebih lanjut, Hiro juga memperkenalkan prinsip-prinsip HAM internasional yang bersifat universal, mencakup keadilan, non-diskriminasi, kesetaraan gender, serta tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya.
“Hak-hak ini saling berkaitan. Jika hak atas kesehatan tidak terpenuhi, maka hak atas pendidikan pun akan terhambat. Karena itu, negara wajib hadir untuk menjamin semua hak dasar terpenuhi,” tegasnya.
Kehadiran Stanislaus Wena dan Hiro dari Kanwil Kemenkumham NTT ini memberikan pemahaman baru bagi mahasiswa UPG 1945 NTT. Mereka bukan hanya diajak memahami HAM sebagai teori hukum, tetapi juga menyadari bahwa nilai-nilai HAM bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di lingkungan kampus.
Dengan metode interaktif dan pemaparan yang sederhana, kegiatan ini meninggalkan kesan mendalam. Mahasiswa didorong untuk menjadi agen perubahan, yang mampu menegakkan nilai kemanusiaan dan membangun peradaban Indonesia yang lebih adil, setara, dan manusiawi.
✒️: kl