Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

Keadilan Tak Lahir Dari Ruang Elit

Senin, 03 November 2025 | November 03, 2025 WIB Last Updated 2025-11-03T09:22:30Z

 


Oleh: Adib Jahidy

Mahasiswa Fakultas Hukum UNIPA. Kepala Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Kepemudaan (PTKP). HMI Cabang MaumereKomisariat Ekososkum



Keadilan tak lahir dari ruang elit yang beraroma parfum mahal.

Bukan dari bibir lembut yang pandai merangkai kata manis di layar kaca.

Ia tak duduk di kursi empuk rapat yang serba formal—karena ia lebih memilih berdiri di jalan,di antara rakyat yang lelah bersuara.


Keadilan bukan hadiah dari tangan penguasa,bukan belas kasihan dari pejabat yang sibuk menghitung elektabilitas.

Ia tumbuh dari luka, dari ketidakadilan yang menganga,dari jeritan yang disembunyikan di balik data dan statistik keadilan semu nan manis.


Di bawah atap seng, di gang sempit, di pasar, di ladang—rakyat menanam benih keadilan dengan tangan berdebu.

Mereka tak bicara teori, tak hafal pasal dan undang, tapi mereka tahu arti lapar, kehilangan, dan ditipu.


Mereka tahu betul betapa hukum bisa dipelintir jadi tali,

yang menjerat leher mereka sendiri atas nama “tertib hukum”.

Mereka tahu, suara rakyat dianggap kecil, selama tak berpihak pada penguasa yang menabur janji di podium.


Keadilan sejati tak bisa diwakilkan,tak bisa disahkan lewat tanda tangan di kertas.

Ia hidup seperti napas rakyat yang menolak ditundukkan—dalam langkah-langkah kolektif yang menembus batas.


Suara rakyat adalah kekuatan moral dan politik yang menentang.

Ia bagai air yang sabar, tapi sanggup mengikis batu.

Dan ketika kekuasaan membungkam dengan bendera dan senjata, suara itu tetap hidup, bahkan dalam sunyi yang paling pilu.


Suara rakyat tak butuh mikrofon, tak butuh panggung tinggi, karena gema kejujuran tak mengenal ruang atau batas.

Ia lahir dari doa seorang ibu yang kehilangan anak di aksi, atau dari langkah buruh yang menolak diupah dengan dusta yang tegas.


Belajar soal hukum bukan sekadar “membela” di depan hakim, tetapi menyalakan api kesadaran di dada yang beku.

Hukum bukan sekadar pasal atau sistem, tapi jembatan antara kebenaran dan keberanian untuk berkata: “Aku.”


Keadilan tak bisa hidup sendiri. 

Ia butuh kolektivitas—persatuan tanpa patron dan simbol palsu.

Dari obrolan di warung kopi, dari rapat kecil di sudut sepi, rakyat belajar menyusun keberanian dari yang dulu hanya rindu.


Kolektivitas adalah napas panjang perlawanan. Ia menyatukan buruh, tani, nelayan, mahasiswa, dan rakyat jelata. Ia melahirkan tawa di tengah represi, karena mereka tahu: tertawa bersama adalah bentuk perlawanan yang nyata.


Dari kolektivitas lahirlah cinta yang berani—cinta yang tak buta pada kekuasaan atau uang, tetapi cinta yang tahu bahwa kesetaraan bukan mimpi, melainkan janji yang harus diperjuangkan di jalan panjang.


Perpaduan itu jadi satu:

  • antara hukum yang berpihak dan rakyat yang sadar,
  • antara nurani yang menolak diam dan gerakan yang tumbuh dari debu,
  • antara “membela” dan “membangkitkan”—agar suara rakyat tak lagi sekadar didengar.


Keadilan sejati berjalan tanpa protokol. Ia menyapa mereka yang tak punya nama di papan sejarah, menolak dijadikan simbol atau slogan yang dangkal. Sebab ia tahu: keadilan hanya hidup jika rakyat sadar dan tak menyerah.


Bila hukum terus disesatkan oleh mereka yang berkuasa, biarlah rakyat menulis kembali maknanya—dengan darah dan doa. Bila kekuasaan terus bicara dengan nada rendah yang berpura-pura, biarlah rakyat menjawab dengan langkah, dengan tawa, dengan solidaritas yang nyata.


Rakyat bukan objek yang menunggu belas kasihan. Mereka subjek sejarah yang membangun peradaban. Dari tangan mereka keadilan tumbuh,dari hati mereka revolusi menjadi pelukan.


Dan bila suatu hari nanti sejarah kembali berpihak pada yang kecil, akan tertulis di sana:

KEADILAN TAK LAHIR DARI RUANG ELIT YANG NYAMAN DAN STERIL, TETAPI DARI PELUH, DARAH, DAN TAWA RAKYAT YANG BERANI MENYATUKAN LUKA.




Sebab pada akhirnya, yang paling berbahaya bukanlah mereka yang berkuasa,

tetapi kesunyian rakyat yang berhenti percaya.

Dan selama suara itu masih ada,

keadilan akan selalu mencari jalan pulang ke dada manusia.