Oleh: Pater Vande Raring, SVD
Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) – Serikat Sabda Allah (SVD)
Di negeri yang katanya demokratis, kekuasaan sering dipakai sebagai tameng untuk melegitimasi kebenaran dan melindungi diri, meski dengan cara menindas dan mengeksploitasi.
Masyarakat — yang sejatinya pemegang kedaulatan — justru diintimidasi, dipaksa menaati aturan, bahkan ketika aturan itu meniadakan rasa kemanusiaan dan keadilan sosial.
Dalam pemerintahan demokratis, rakyat seharusnya didengarkan, bukan dipaksakan mengikuti kemauan penguasa.
Seorang pemimpin dipilih dari dan oleh rakyat untuk melayani, bukan untuk memerintah.
Tagline “Maumere Baru” yang digaungkan saat kampanye hanyalah slogan tanpa makna — retorika yang dibalut dusta, sekadar alat untuk menyedot suara demi ambisi kekuasaan.
Suara masyarakat kecil dikuburkan atas nama aturan, bukan atas dasar moralitas dan intelektualitas, tetapi karena arogansi kekuasaan.
Menutup Pasar Wuring, Mematikan Ekonomi Rakyat
Menutup Pasar Wuring sama saja dengan mematikan denyut ekonomi rakyat.
Di sana, tak ada lagi elan vital kehidupan: tak ada senyum, tawa, atau canda yang keluar secara spontan. Tak ada lagi ruang fantasi dan imajinasi manusiawi (homo ludens), sebab mereka bukan lagi manusia yang hidup dalam kebebasan dan harapan, melainkan korban sistem yang kaku dan dingin.
Makna dan kualitas hidup yang bersifat spiritual, moral, dan intelektual direduksi; digantikan oleh arogansi kuasa.
Pemerintah lebih memilih menegakkan aturan daripada mendengar rintihan dan tangisan rakyat kecil.
Kebohongan dilestarikan, sementara demokrasi dikuburkan.
Demokrasi yang Dipasung
Di negeri ini, demokrasi bukan lagi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”
Ia telah menjelma menjadi sirkus kekuasaan yang dimainkan oleh segelintir elit untuk kepentingan diri.
Sementara rakyat cukup menjadi penonton — tertawa, menangis, lalu pulang tanpa sadar bahwa mereka baru saja ditipu.
Betapa tidak…
Ada ketidaksesuaian antara aturan dan fakta di lapangan.
Ada diskriminasi yang nyata dan terang-benderang, dimainkan tanpa rasa malu, seolah keadilan hanyalah kata hiasan dalam konstitusi.
CV Bengkunis Jaya digugat melanggar RTRW dan RDTR, tetapi pada saat yang sama, Pemda justru mengizinkan minimarket besar seperti Alfamart dan Indomaret berdiri di kawasan Wuring — zona yang katanya juga melanggar aturan yang sama.
Rakyat kecil digusur atas nama aturan, sementara konglomerat diizinkan memenuhi kerakusan.
Inikah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Refleksi untuk Nurani Bangsa
Kebenaran, keadilan, dan kebaikan suci akan tetap hidup — meski kadang diinterupsi oleh kezaliman struktural dan kultural akibat kekuasaan yang otoriter.
Kenyataan ini membuat saya merenung: berapa besar perjuangan yang harus dibayar rakyat untuk sekadar mendapatkan keadilan?
Jika kebijakan pemerintah tidak berpihak pada hak hidup dan kebutuhan rakyat kecil, maka semua ongkos ekonomi, sosial, dan politik yang telah dikeluarkan bangsa ini hanyalah istana pasir di pinggir pantai.
Anak-anak kecil membangunnya dengan serius dan penuh imajinasi, tetapi seketika lenyap diterpa ombak.
Alangkah rugi dan bodohnya bangsa ini bila segala perjuangannya — dengan biaya yang begitu mahal — hanya berujung pada kehancuran seperti istana pasir itu.
Namun sejarah masih berjalan.
Untuk kebenaran dan keadilan, kami tidak akan pernah pensiun.
