Oleh : Alfred H.J. Zacharias.
Ketua Diaspora For Rote Ndao- Nusa Tenggara Timur.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai orang yang sangat yakin dengan pendapatnya, berbicara lantang, dan menutup diri dari kritik. Menariknya, rasa yakin itu tidak selalu sejalan dengan kedalaman pengetahuan. Fenomena ini dalam psikologi dikenal sebagai Dunning–Kruger Effect, yaitu kondisi ketika keterbatasan pemahaman justru melahirkan rasa percaya diri yang berlebihan.
Teori ini mengingatkan kita bahwa seseorang yang belum cukup memahami suatu persoalan sering kali juga belum mampu menyadari batas kemampuannya sendiri. Akibatnya, kritik dianggap serangan, masukan dipandang sebagai ancaman, dan dialog berubah menjadi perdebatan tanpa ujung. Sebaliknya, orang yang terus belajar justru cenderung lebih rendah hati karena sadar bahwa pengetahuan selalu terbatas.
Dalam konteks Nusa Tenggara Timur, refleksi ini menjadi sangat relevan. Daerah ini menghadapi persoalan yang tidak sederhana : Pendidikan dan ksehatan yang belum merata dan terjangkau, pelayanan publik yang masih perlu dibenahi, kemiskinan struktural dan absolut/Destitusi hingga Tata kelola Birokrasi yang dituntut semakin transparan dan adil. Semua itu membutuhkan kepemimpinan yang tidak hanya tegas tetapi juga mau mendengar dan belajar.
Masalah muncul ketika jabatan dan kewenangan dianggap sebagai tanda bahwa seseorang sudah paling benar. Dalam kondisi seperti ini, kritik publik sering disikapi dengan defensif bukan reflektif. Padahal kritik adalah bagian dari kontrol sosial yang sehat. Ketika pemimpin alergi terhadap kritik, maka kebijakan berisiko lahir dari asumsi bukan dari kebutuhan nyata masyarakat.
Dunia pendidikan juga tidak lepas dari fenomena ini. Sekolah dan lembaga pendidikan seharusnya menjadi ruang belajar yang hidup. Namun, ketika guru, kepala sekolah, atau pengambil kebijakan menutup diri dari evaluasi dan masukan maka pendidikan akan kehilangan ruhnya. Pendidikan bukan soal siapa yang paling lama mengajar atau paling tinggi jabatannya tetapi siapa yang terus mau memperbaiki proses belajar-mengajar.
Dalam birokrasi, Dunning–Kruger Effect dapat menjelma dalam bentuk keengganan diaudit, resistensi terhadap perubahan dan kecenderungan mempertahankan prosedur lama meski tidak lagi efektif, efisien dan produktif. Birokrasi yang sehat seharusnya terbuka terhadap evaluasi dan pembaruan karena pelayanan publik adalah amanah bukan sekadar rutinitas administratif.
Ruang politik lokal pun tidak kebal. Rasa “paling tahu” sering dikemas sebagai ketegasan dan wibawa. Padahal, kepemimpinan sejati bukan diukur dari seberapa keras menolak perbedaan pendapat melainkan dari kemampuan mengelola perbedaan itu menjadi kekuatan dalam mengambil keputusan yang lebih bijak. Politik yang sehat membutuhkan dialog bukan sekadar monolog kekuasaan.
Penting ditegaskan, membahas Dunning–Kruger Effect bukan untuk menghakimi individu atau kelompok tertentu. Ini adalah cermin bagi kita semua terutama mereka yang diberi kepercayaan memimpin oleh Tuhan dan Rakyat. Teori ini mengajak kita membangun kerendahan hati intelektual, kesadaran bahwa jabatan tidak otomatis menjadikan seseorang paling benar atau paling tahu.
NTT membutuhkan lebih banyak pemimpin, pendidik, dan birokrat yang berani berkata, “Saya masih perlu belajar”. Sikap ini bukan tanda kelemahan melainkan kekuatan moral. Daerah ini tidak akan maju hanya dengan kepercayaan diri yang tinggi tetapi dengan kesiapan untuk mendengar rakyat, menerima kritik, dan memperbaiki kebijakan.
Pada akhirnya, orang yang bijak bukanlah mereka yang merasa paling tahu melainkan mereka yang terus mau belajar dan memperbaiki diri. Di situlah harapan bagi kepemimpinan yang lebih manusiawi dan berkeadaban di Nusa Tenggara Timur.
