![]() |
Nelayan kecil Wuring Maumere keluhkan sulitnya akses solar subsidi dari SPBN yang kini diduga dikuasai calo dan pemilik kapal besar. |
Maumere,NTT, 13 Juni 2025 – Suara protes datang dari kampung nelayan Wuring, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka. Para nelayan tradisional di wilayah pesisir ini mengeluhkan sulitnya mendapatkan akses terhadap solar subsidi dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN). Ironisnya, SPBN yang seharusnya menjadi tumpuan utama bagi nelayan kecil, justru dinilai tak lagi berpihak pada mereka.
“Sudah beberapa hari kami tidak melaut. Bukan karena ombak, tapi karena solar tidak bisa kami beli langsung di SPBN,” ungkap Darmin, seorang nelayan kecil di Wuring. Ia menyebut bahwa pembelian solar bersubsidi di SPBN kini mensyaratkan adanya surat rekomendasi dari Dinas Perikanan, padahal dulu, nelayan bisa membeli langsung.
Padahal, kebutuhan solar mereka sangat terbatas: hanya 20 liter untuk dua hari melaut. Tapi karena tidak memiliki rekomendasi, mereka terpaksa membeli dari pengecer dengan harga Rp7.500 per liter—jauh lebih mahal dari harga resmi SPBN yang hanya Rp6.800.
“Kembalikan saja fungsi SPBN seperti dulu. Sekarang ini seperti milik calo dan nelayan besar,” tegas Zainal, nelayan lainnya yang merasa haknya dirampas secara perlahan.
Dari penelusuran yang dilakukan media, dugaan praktik penyimpangan dalam distribusi solar subsidi di SPBN Wuring makin menguat. Seorang nelayan yang tidak ingin disebut namanya mengungkapkan, sistem rekomendasi justru lebih banyak dimanfaatkan oleh pemilik kapal besar (lempara). Mereka bekerja sama dengan calo—dikenal sebagai “tukang ojek BBM”—untuk mengambil solar dalam jumlah besar.
“Mereka bisa ambil 400–500 liter sekali angkut. Tapi ke perahu mereka cuma dikasih 250–300 liter, sisanya ditampung di rumah. Lalu dijual ke kami, nelayan kecil, dengan harga mahal,” bebernya.
Nelayan kecil pun terjebak dalam ketergantungan pada para pengecer dadakan ini. Mereka tidak punya akses legal, tapi harus tetap melaut untuk hidup. Pilihannya hanya dua: beli mahal atau tidak melaut sama sekali.
Selama hampir lima tahun, para nelayan kecil Wuring merasa terpinggirkan. Mereka mendesak agar SPBN dikembalikan pada fungsinya semula—melayani nelayan tanpa syarat rumit yang justru membuka ruang permainan mafia bahan bakar.
“Kami ini nelayan kecil, tidak punya akses ke rekomendasi, tidak punya kapal besar. Tapi kenapa kami harus dibatasi dari BBM bersubsidi yang memang untuk kami?” tutur Rudi, nelayan lainnya dengan nada getir.
Para nelayan berharap pemerintah daerah dan lembaga terkait seperti Pertamina, Dinas Perikanan, dan aparat penegak hukum segera turun tangan untuk membenahi distribusi BBM di SPBN Wuring. Mereka menuntut sistem yang adil, transparan, dan pro-nelayan kecil, bukan sistem yang memperkaya calo dan menyulitkan rakyat kecil.
✏️: AC