Oleh: Drs. Ben D. Hadjon, S.H.
Kuasa Hukum CV Bengkunis Jaya
Peraturan Bupati (Perbup) Sikka Nomor 12 Tahun 2023 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Perencanaan Perkotaan Maumere 2023–2043 adalah sebuah ironi. Regulasi yang lahir pada masa Penjabat Bupati Sikka Alfin Parera ini justru menimbulkan banyak pertanyaan daripada jawaban. Bukan hanya diduga cacat prosedural, tetapi juga melahirkan aroma kepentingan yang kental.
Dalam teori hukum tata negara dan hirarki perundang-undangan, setiap Perbup haruslah punya dasar pada peraturan yang lebih tinggi, minimal Peraturan Daerah (Perda). Namun, apa yang terjadi? Perbup RDTR 2023 tidak memiliki cantolan hukum yang jelas. Dokumen itu bahkan tidak pernah diumumkan resmi di situs JDIH Kabupaten Sikka. Publik hanya mengenalnya lewat file PDF yang beredar di WhatsApp. Bagaimana mungkin produk hukum yang mengatur tata ruang puluhan tahun ke depan dan berdampak luas, lahir dengan cara semisterius ini?
Lebih fatal lagi, regulasi ini diteken oleh seorang Penjabat Bupati. Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah seorang PJ berhak menetapkan kebijakan strategis jangka panjang dan berdampak luas yang mestinya menjadi domain Bupati definitif hasil pilihan rakyat? Jika jawabannya tidak, maka Perbup RDTR 2023 hanyalah produk hukum tanpa legitimasi politik. Padahal dalam tata kelolah pemerintahan yang berorientasi pada perwujudan amanat rakyat, bukan hanya membutuhkan legitimasi hukum tetapi juga legitimasi politik.
Kalau pun Perbup ini mengacu pada Perda RTRW 2012–2032, mengapa Perbup ini baru lahir setelah 11 tahun berjalan? Kondisi perkotaan Maumere jelas sudah berubah drastis sejak 2012 atau kondisi faktualnya banyak yang sudah tidak relevan. Bukankah semestinya RDTR itu hadir sebagai instrumen perencanaan yang kontekstual, bukan sekadar dokumen “sisa-sisa” yang dipaksakan berlaku?
Kecurigaan publik atau setidak-tidaknya pihak-pihak yang mencermati sengketa TUN di PTUN Kupang makin kuat ketika Perbup RDTR 2023 diterbitkan yang seolah-olah untuk kepentingan persidangan, yakni untuk menghadapi gugatan CV Bengkunis Jaya. Regulasi itu seakan menjadi alat pembenar bahwa lokasi usaha CV. Bengkunis Jaya berada di jalur rawan bencana. Bila benar demikian, maka Perbup ini bukanlah instrumen pembangunan, melainkan senjata hukum untuk memukul warga yang tengah berjuang mempertahankan haknya.
Tak kalah serius, ada dugaan konflik kepentingan yang sulit disangkal. Mantan PJ Bupati Alfin Parera diketahui menjabat sebagai Ketua Forum Penataan Ruang Kabupaten Sikka berdasarkan SK Bupati 2022. Artinya, ia yang memimpin forum, ia pula yang menandatangani Perbup. Dan kini, produk hukumnya dipakai untuk menghadapi gugatan warganya sendiri yang memperjuangkan haknya dalam suatu proses hukum. Bukankah ini potret paling gamblang dari praktik conflict of interen
Situasi makin absurd ketika pada Maret 2025, Kabupaten Sikka telah memiliki Perda RTRW 2025–2044. Anehnya, Perbup RDTR 2023 tidak pernah dicabut, artinya berdasarkan azas preusimtio iustae causa maka Perbup tersebut tetap berlaku sah sampai dengan saat ini. Akibatnya, kini kita hidup di bawah bayang-bayang dua aturan yang berpotensi tumpang tindih dan mungkin saja terdapat kontradiksi yang melahirkan permasalahan dari sisi hirarki perundang-undangan. Dalam hukum, ini bukan sekadar kelalaian, melainkan ancaman nyata yang berkaitan dengan kepastian hukum.
Kini, bola ada di tangan Bupati definitif. Apakah ia berani mengoreksi produk hukum warisan PJ yang penuh tanda tanya itu? Atau justru bersikap wait and see yang justru dapat melahirkan kebingungan pada level publik karena tidak adanya kepastian hukum?
Satu hal pasti: tata ruang adalah soal masa depan kota dan kesejahteraan rakyat serta kepentingan publik, bukan alat yang diciptakan untuk kepentingan sesaat yang bersifat subyektif.
Catatan Penulis : Data dan keterangan yang dijadikan bahan analisis dalam tulisan ini sepenuhnya diperoleh dari klien, yakni CV. Bengkunis Jaya
