Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

“Saya Ikhlaskan Tanah untuk Rakyat, Tapi Pemerintah Malah Menutupnya” — Kronologi dan Jeritan dari Pasar Wuring

Senin, 13 Oktober 2025 | Oktober 13, 2025 WIB Last Updated 2025-10-13T12:47:39Z
Penutupan Pasar Wuring di Maumere mengguncang ekonomi nelayan Bajo. Waode, pemilik lahan, minta pemerintah berpihak pada rakyat kecil.


Kota Kupang,NTT, 13 Oktober 2025“Saya ikhlaskan tanah ini untuk rakyat, tapi pemerintah malah menutupnya.” Kalimat lirih itu keluar dari bibir Waode Karmila Wati, perempuan asal Wuring, Kabupaten Sikka, yang kini menjadi simbol perjuangan masyarakat pesisir dalam mempertahankan ruang hidup dan ekonomi rakyat kecil.


Pasar Wuring berdiri sejak tahun 1990-an di tengah permukiman masyarakat Bajo, suku pelaut yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan.


Awalnya, para nelayan berjualan di depan rumah mereka, di sepanjang Jalan Kabupaten, menjajakan ikan hasil tangkapan harian. Karena transaksi semakin ramai, pedagang sayur, pakaian, dan aksesoris ikut berdatangan. Dari sanalah terbentuk pasar rakyat alami yang hidup dari hasil laut.


Sekitar tahun 2014–2015, melalui program PNPM Mandiri, pemerintah membangun sekitar 20–30 lapak permanen untuk menertibkan pedagang yang berjualan di jalan raya. Namun, karena jumlah pedagang sudah mencapai ratusan, banyak yang tetap berjualan di luar area lapak — tepatnya di Jalan Kuburan, jalan kecil menuju pemakaman umum. “Waktu itu masyarakat lokal membuka lahannya secara sukarela. Kami gotong royong supaya semua bisa hidup dari hasilnya,” kenang Waode.


Salah satu lahan yang dipakai adalah tanah milik keluarga Waode Karmila Wati — bersertifikat Hak Milik (SHM).


Tanah itu dulunya berupa rawa dan tempat pembuangan sampah. Waode mengizinkan masyarakat berjualan di atas tanah tersebut dan mengelolanya secara swadaya melalui CV Bengkunis Jaya.


Tahun 2017, kawasan ini sempat digunakan untuk syuting film “Tiga Dara” dari Jakarta, yang membuat nama Wuring viral di media sosial karena dikenal sebagai tempat “makan ikan bakar segar langsung dari laut”.


Sejak itu, kawasan Wuring berubah menjadi destinasi kuliner rakyat. Pengunjung datang dari Kupang, Maumere, bahkan wisatawan luar daerah.


Nelayan melaut siang hari, lalu menjual hasilnya malam hari. Aktivitas ekonomi rakyat tumbuh pesat — menyerap ratusan tenaga kerja informal dari warga pesisir.


Menurut data Dinas Perindag Kabupaten Sikka, kini terdapat sekitar 250 pedagang aktif di kawasan Pasar Wuring. Aktivitas hanya berlangsung pada malam hari pukul 17.00–20.00 WITA, dan setelah itu kawasan kembali sepi.


Ketenangan itu berubah ketika muncul Surat Keputusan Pejabat Bupati Sikka  16/11/2023, yang berisi perintah penghentian seluruh aktivitas di Pasar Wuring.


Alasannya: pasar dianggap tidak memiliki izin zonasi tata ruang, izin lingkungan hidup, dan sertifikat laik bangunan.


Surat itu ditujukan kepada pimpinan CV Bengkunis Jaya, memberi waktu 16 hari untuk menghentikan semua kegiatan di area pasar.


Tak lama kemudian, Satpol PP turun ke lokasi, memblokade area, dan melakukan penjagaan. “Penjual boleh berjualan, tapi pembeli dilarang masuk. Apa bedanya dengan menutup?” ujar Waode.


Yang disesalkan, blokade hanya dilakukan di lahan milik Waode, sementara lapak-lapak lain di sisi timur tetap dibiarkan beroperasi. “Kami yang punya SHM justru dibatasi. Padahal tanah itu sah milik kami,” tegasnya.


Waode mengaku sudah memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dari OSS Kementerian Investasi sejak Desember 2021 dan membayar pajak parkir ke Pemda sekitar Rp2,4 juta per bulan — atau Rp30 juta per tahun sebelum tarif berubah.


Namun pemerintah daerah tetap menyebut pasar itu “ilegal” karena belum memiliki izin pengelolaan pasar tradisional. Ironisnya, Pemkab Sikka belum memberikan panduan tentang tata cara pengurusannya. “Kalau izinnya wajib, tolong beri kami arahan. Jangan langsung tutup tanpa solusi,” kata Waode.


Kondisi ini diperumit dengan keputusan Mahkamah Agung tahun 2025, yang menyatakan pasar tanpa izin pengelolaan dinyatakan tidak sah.


Namun faktanya, hingga kini Kabupaten Sikka belum memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) — dokumen dasar yang menjadi acuan penerbitan izin usaha. “Bagaimana kami mau urus izin kalau RDTR daerahnya saja belum ada?” tanya Waode.


Akibat ketidakjelasan itu, kegiatan ekonomi rakyat tersendat. Padahal, sejak 2020 hingga 2024, Waode tetap membayar pajak parkir rutin dan menjalankan kewajiban kepada pemerintah daerah.


Pada Oktober 2025, Satpol PP kembali turun ke lokasi atas instruksi Bupati definitif untuk menyiapkan penutupan total Pasar Wuring.


Menurut Waode, rencana itu bahkan mencakup pengerahan 100 personel Satpol PP untuk menutup seluruh area pasar.


 “Saya kaget, mereka datang survei lahan dan bilang mau tempatkan personel di tiap titik. Katanya, ada instruksi penutupan total,” ujarnya.


Padahal, aktivitas pasar berlangsung sangat singkat setiap malam dan tidak mengganggu lalu lintas umum.


Bagi 250 pedagang, pasar ini bukan sekadar tempat jual beli — tapi sumber penghidupan utama.


Banyak pedagang mengaku pendapatan di Wuring 3–10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan di pasar resmi milik pemerintah seperti Pasar Alok atau Pasar Geliting. “Kalau jual di pasar pemerintah, paling dapat seribu–dua ribu. Di Wuring bisa sepuluh kali lipat,” tutur Waode.


Selain pedagang, puluhan warga juga bekerja sebagai juru parkir, tukang bersih, penjaga malam, dan pengelola listrik di kawasan pasar. “Kalau pasar ini ditutup, siapa yang menanggung hidup mereka?” katanya lirih.


Waode berharap Gubernur NTT turun tangan menengahi persoalan ini. “Bapak Gubernur punya program meningkatkan ekonomi rakyat. Kami harap beliau bisa menengahi, bukan hanya diam,” ujarnya.


Ia menilai tindakan penutupan tanpa solusi bertentangan dengan semangat pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil. “Pasar ini bukan hanya tempat jual beli, tapi napas hidup masyarakat Maumere,” tegasnya.


Pasar Wuring bukan sekadar deretan lapak ikan segar di pesisir Maumere. Ia adalah simbol gotong royong, kemandirian, dan keberdayaan masyarakat Bajo yang hidup dari laut dan tanah mereka sendiri.


Menutupnya tanpa solusi bukan hanya mematikan ekonomi rakyat, tapi juga memadamkan semangat swadaya masyarakat yang sudah teruji lebih dari tiga dekade.


 “Kami tidak menuntut bantuan besar, kami hanya minta ruang untuk hidup dari hasil keringat sendiri,” tutup Waode Karmila Wati dengan suara bergetar.

✒️: kl