![]() |
| Ratusan mahasiswa GMNI dan BEM IFTK Ledalero kibarkan bendera setengah tiang dan bakar lilin di Kantor Bupati Sikka, protes kepemimpinan tanpa nurani. |
Maumere,NTT, 3 November 2025 — Suasana di depan Kantor Bupati Sikka malam ini berubah menjadi lautan api lilin dan suara perlawanan. Ratusan mahasiswa dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sikka dan BEM IFTK Ledalero menggelar aksi simbolik penuh makna dengan menurunkan bendera merah putih setengah tiang dan menyalakan ratusan lilin di bawah kaki tiang bendera — simbol berkabung atas matinya nurani kepemimpinan di Kabupaten Sikka.
Aksi ini menjadi sorotan publik dan viral di media sosial. Di tengah nyala lilin dan pekat sore Maumere, orasi mahasiswa menggema lantang. Mereka menuding Bupati Sikka lebih sibuk menjadi konten kreator ketimbang mendengar jeritan rakyat kecil dan pedagang Wuring yang menjadi korban kebijakan pemerintah daerah.
“Bupati sibuk bikin konten di media sosial, sementara rakyat menjerit di pasar dan jalanan! Kami berkabung karena nurani pemimpin telah mati!”. teriak salah satu orator GMNI Sikka dari atas mobil komando.
Simbol Duka atas Matinya Nurani Kepemimpinan
Dalam aksinya, massa mahasiswa membawa spanduk bertuliskan “Sikka Berkabung, Nurani Pemimpin Mati” dan “Hidup Rakyat, Lawan Pencitraan!”
Tindakan menaikkan bendera setengah tiang dimaknai sebagai protes moral terhadap kepemimpinan daerah yang dinilai kehilangan empati terhadap rakyat kecil.
Perwakilan BEM IFTK Ledalero mengatakan bahwa aksi ini adalah peringatan moral agar Pemkab Sikka tidak lagi menutup mata terhadap penderitaan rakyat.
“Lilin ini kami nyalakan di kaki tiang bendera sebagai tanda duka bagi bangsa kecil yang ditinggalkan pemimpinnya,”ujar salah satu mahasiswa Ledalero dengan suara bergetar di tengah nyala lilin.
Kritik terhadap Pemerintah Daerah dan Isu Pasar Wuring
Selain mengecam gaya kepemimpinan Bupati, massa juga menyoroti ketidakadilan terhadap pedagang Pasar Wuring, yang sebelumnya menjadi korban penutupan sepihak oleh Pemkab Sikka.
Mereka menilai kebijakan tersebut melanggar hak ekonomi rakyat kecil dan menjadi simbol arogansi kekuasaan di daerah.
Mahasiswa menegaskan, aksi ini bukan sekadar unjuk rasa, tetapi panggilan moral agar pemerintah berhenti mengurusi pencitraan dan mulai bekerja untuk kesejahteraan rakyat. “Kami menyalakan lilin, bukan untuk romantika politik, tapi untuk menerangi nurani yang padam di kantor ini,” ujar perwakilan GMNI.
Lilin yang Tak Padam: Harapan untuk Sikka
Hingga malam menjelang, ratusan lilin tetap menyala di bawah tiang bendera.
Simbol itu menjadi tanda duka sekaligus harapan — agar Sikka memiliki pemimpin yang berpihak pada rakyat kecil, bukan pada kamera dan pencitraan.
- “Ketika bupati sibuk mencari pencitraan, rakyat menyalakan lilin untuk nurani yang padam.”
- “Bendera setengah tiang bukan simbol politik, tapi tanda duka atas matinya keadilan di Sikka.”
- “Lilin boleh padam, tapi suara rakyat tidak akan pernah mati.”
