Oleh: Albert Cakramento
Jurnalis News-Daring.com/Pemerhati Sosial
Tindakan penyitaan minuman tradisional Moke oleh Satuan Reserse Narkoba Polres Sikka pada Sabtu, 1 November 2025, bukan sekadar penegakan hukum. Ini adalah persoalan martabat, kebudayaan, dan keadilan sosial bagi masyarakat Kabupaten Sikka.
Bagi orang luar, Moke mungkin hanya dianggap sebagai minuman beralkohol. Namun bagi masyarakat Sikka, Moke adalah simbol kehidupan dan warisan leluhur. Ia bukan sekadar cairan hasil sulingan lontar, tetapi simbol penghormatan, kebersamaan, dan spiritualitas yang mengikat hubungan manusia dengan leluhur mereka.
Dalam setiap upacara adat, masyarakat Sikka mengenal ungkapan sakral:
“Ami ge’a naha piong, minu naha tewok.”
Artinya: Kami memberi makan mereka yang telah pergi, dan memberi minum mereka yang telah mendahului.
Ungkapan ini merupakan warisan budaya masyarakat Lega Gete, Kewa Heo, Hewokloang, yang hingga kini tetap dijaga secara turun-temurun. Ia menggambarkan penghormatan kepada arwah leluhur sebelum orang hidup makan dan minum. Moke dalam hal ini menjadi media sakral yang menghubungkan dunia roh dan dunia manusia — simbol keseimbangan dan rasa hormat terhadap asal-usul kehidupan.
Lebih dari itu, pembangunan kuwu (tempat penyulingan Moke) pun dilakukan melalui ritual adat dan doa leluhur. Tempat ini dianggap suci karena dari sinilah kehidupan lahir. Ketika aparat kepolisian datang dan melakukan penyitaan di kuwu, mereka bukan hanya merampas hasil kerja rakyat, tetapi juga merusak kesakralan tempat adat yang dijaga dengan doa dan ritual.
Polisi seharusnya memahami sejarah dan budaya masyarakatnya sendiri. Hukum tanpa pemahaman budaya adalah kekuasaan tanpa empati. Penegakan hukum yang mengabaikan nilai-nilai adat sama artinya dengan menyingkirkan jati diri bangsa itu sendiri.
Ironisnya, banyak anak petani Moke kini menjadi polisi berkat hasil keringat dari kuwu yang sama — tempat di mana orang tua mereka berjuang demi masa depan anak-anaknya. Dari Moke, rakyat kecil hidup, belajar, dan berharap.
Jika dalih penyitaan adalah soal izin edar, maka negara seharusnya hadir untuk membimbing, bukan menghukum. Pendekatan yang edukatif, dialogis, dan manusiawi jauh lebih bermartabat daripada tindakan represif.
Sementara itu, minuman beralkohol bermerek dan rokok ilegal di tempat hiburan malam terus beredar tanpa penindakan serius. Ketika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka rasa keadilan berubah menjadi luka.
Pemerintah Kabupaten Sikka perlu segera menerbitkan regulasi daerah yang mengakui dan melindungi Moke sebagai minuman tradisional yang sah, serta bagian dari warisan budaya dan ekonomi rakyat. Ini bukan soal mengagungkan alkohol, melainkan menghormati leluhur dan melindungi kehidupan rakyat kecil.
Sebagai anak Sikka, saya percaya: rakyat tidak anti hukum, mereka hanya menolak ketidakadilan. Negara boleh kuat, tapi budaya jauh lebih tua dari kekuasaan. Karena itu, siapapun yang menyinggung kesakralan Moke, telah menyinggung jiwa masyarakat Sikka itu sendiri.
