Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

Renungan Tahun Baru 2026: Masihkah Asa Bertumbuh di Tanah yang Terluka?

Rabu, 31 Desember 2025 | Desember 31, 2025 WIB Last Updated 2025-12-31T06:34:36Z

 


Oleh: Steph Tupeng Witin, SVD

Imam Katolik, Jurnalis, dan Penulis


Manusia hidup oleh harapan. Asa adalah tenaga batin yang membuat manusia tetap melangkah ketika realitas tidak ramah, keadilan terasa jauh, dan ketakutan seolah menjadi bahasa sehari-hari. Dalam iman Katolik, harapan bukanlah pelarian dari kenyataan, melainkan keberanian moral untuk berdiri di pihak kebenaran, sekalipun risiko dan penderitaan menyertainya.


Kitab Suci menegaskan, “Harapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita” (Rm 5:5). Harapan berakar pada kasih dan kebenaran Allah, bukan pada janji-janji kosong kekuasaan.


Memasuki tahun baru 2026, harapan itu diuji oleh luka-luka sosial yang belum sembuh. Ketika manusia diperlakukan tidak adil, ketika hukum kehilangan wajah melindungi, ketika intimidasi dan kriminalisasi menjadi alat membungkam suara lemah, nurani kita dipanggil untuk tidak diam. Dalam ajaran moral Katolik, diam di hadapan ketidakadilan bukanlah netralitas, melainkan kegagalan mencintai sesama (Yak 2:17).


Harapan Kristen bukan sikap pasif menunggu mukjizat, melainkan keberanian untuk terlibat. Ia menuntut keberpihakan pada mereka yang kecil, sederhana, dan kerap dijadikan tumbal ketidakadilan struktural. Di banyak wilayah, hukum dirasakan bukan sebagai pelindung, melainkan ancaman. Sosiologi menyebutnya sebagai defisit kepercayaan institusional—ketika rakyat kehilangan rasa aman terhadap negara dan institusinya sendiri.


Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa negara wajib melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Perlindungan itu bukan pilihan, melainkan mandat. Namun jurang antara norma dan praktik kerap begitu lebar, terutama ketika jejaring mafia, penyalahgunaan kuasa, dan kepentingan sempit berkelindan dalam ruang publik.


Dalam perspektif iman, fakta-fakta pahit ini bukan alasan untuk putus asa, melainkan panggilan untuk keterlibatan. Tanpa suara kritis dan keberanian membongkar kebusukan, kita justru sedang mengabadikan kejahatan di depan mata. Ketidakadilan yang dinormalisasi adalah luka yang dibiarkan bernanah.


Dalam ajaran sosial Gereja, ketakutan yang lahir dari penyalahgunaan kuasa adalah dosa sosial. Ia merusak martabat manusia dan mematikan kebebasan hati nurani. Kekuasaan hanya sah sejauh melayani kehidupan.


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menegaskan peran Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Ketika amanat ini dijalankan dengan integritas, hukum menjadi berkat. Namun ketika disimpangkan oleh oknum, hukum berubah menjadi beban. Penting ditegaskan: kritik terhadap penyalahgunaan wewenang bukanlah kebencian terhadap institusi. Justru sebaliknya, kritik adalah bentuk cinta pada keadilan dan dorongan agar institusi berbenah.


Reformasi internal, penegakan etik, dan komitmen transparansi adalah tanda harapan. Dalam teologi Katolik, pertobatan selalu dimulai dari pengakuan akan kerapuhan dan kehendak untuk memperbarui diri.


Di titik inilah peran pers dan masyarakat sipil menjadi krusial. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi dan pilar demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab bukan musuh aparat, melainkan mitra kritis negara hukum.


Yesus berkata, “Kebenaran akan memerdekakan kamu” (Yoh 8:32). Prinsip ini universal. Ketika pers dibungkam, publik kehilangan cahaya. Ketika wartawan bekerja dalam ketakutan, masyarakat kehilangan hak untuk tahu. Padahal, transparansi adalah syarat mutlak keadilan sosial.


Keadilan yang tampak (visible justice) memulihkan kepercayaan publik. Reformasi kepolisian dan perlindungan kebebasan pers bukan agenda sektoral, melainkan kebutuhan nasional.


Manusia hidup dalam Kronos—waktu yang mengalir tanpa menunggu siapa pun. Namun iman mengajak kita memasuki Kairos: waktu kesadaran, saat memilih arah baru. Kenangan pahit masa lalu bukan untuk memelihara dendam, melainkan membimbing nurani agar kesalahan tidak terulang.


Natal mengingatkan bahwa Allah masuk ke dalam sejarah manusia yang kotor dan terluka untuk mengubahnya. Dari palungan yang sunyi, Tuhan menyatakan bahwa kekuasaan sejati bukan pada teror, melainkan pada kebenaran.


Masihkah kita memiliki asa di tahun 2026? Ya—selama kebenaran masih diperjuangkan, selama hukum ditegakkan tanpa tebang pilih, selama pers dilindungi, dan selama nurani tidak dibungkam oleh ketakutan.


Harapan tidak lahir dari retorika, melainkan dari langkah konkret: membela korban, melindungi yang lemah, membuka ruang keadilan, dan menjaga ingatan kolektif agar ketidakadilan tidak dinormalisasi.


Kiranya tahun baru ini menjadi ruang pertobatan bersama: agar hukum kembali menjadi jalan keadilan, aparat menjadi pelindung rakyat, pers menjadi cahaya publik, dan harapan—meski rapuh—tetap hidup di hati bangsa ini.


“Keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman” (Mzm 85:11). Damai sejati lahir bukan dari ketakutan, melainkan dari keberanian menegakkan kebenaran.